Untain kisah terukir
di bulan
nan Ramadhan, serasa sebulan Ramadhan penuh dengan cerita yang tak lekang oleh
ibadah dan amal kebaikan, tak tertimbun oleh masa dan waktu penuh dengan
pengalaman baru yang menginspirasi.
Namun Ramadhan tahun ini agak berbeda dengan biasanya, Ramadhan tahun lalu
banyak terhabiskan di kampung halaman, bersua dan bergembira ria bersama
keluarga, namun kali ini kuhabiskan bulan yang istimewa ini full di
daerah rantaun kota Benteng. Menyamai kebersamaan RDH.
Perasaan gembira, kangen, sedih, kesepian dan banyak lagi suasana hati yg
tak dapat didefinisikan menyertai Ramadhanku kali ini.
Gembira bisa dipertemukan dengan bulan istimewa, keutamaan, kemuliaan, dan Sunnah-nya
pun bernilai berkali-kali lipat, bahkan yang tidur sajapun menjadi amalan
ibadah produktif berbuah pahala berkali-kali lipat.
Sedih, kangen, rindu, juga meyertai suasana hati ini, ketika menjelang
akhir-akhir Ramadhan, kesedihan bak cerita Zainuddin dan Hayati dalam cerita “Tenggelamnya
Kapal Vanderwick”, ketika melihat kebahagian dan senyuman teman-teman se-asrama
menikmati suasana mudik ke kampungnya masing masing, membuat asrama/tempat
tinggalku di rantauan kosong dari suara, seolah asrama yang sudah sepi ini menjadi
sepi sunyi, ditemani tetesan air kapur memenuhi ember di kamar mandi, hidup
seperti angka satu, melengkapi kesedihan akan perpisahan dengan kekasih Ramadhan.
Apalagi kalau disapa dan ditanya kapan balik,,,,? (Ujar
teman-teman bila mereka pamit ke
kampungnya)
Di mulut sok tegas berujar, “Saya gak balik. Masa’ anak perantauan tiap tahun balik.”
Tapi di dalam hati menangis teringin pulang merajut ukhuwah
melepas Ramadhan dengan keluarga.
Tapi
itulah pilihan, tetap setia di kota Istimewa,
di bulan yang istimewa, kerelaan tidak
merayakan Sholat Idul Fitri dan suasana budaya bagi-bagi amplop di
kampung.
Namun, bukan itu yang
ingin kuceritakan.
Ketika orang-orang bergegas, bersiap-siap pulang ke kampung
di hari 10 terakhir Ramadhan. Ketika orang-orang sudah mulai
tersibukkan dengan baju lebaran dan kue oleh-oleh untuk lebaran, ramainya pasar, mall dan terminal,
ketika Televisi pun beralih dari tausyah menjadi kabar
mudik.
Lain halnya dengan hamba-hamba Allah yang lain, merancang
dan mempersiapkan waktu malamnya
beribadah I’tikaf yang maksimal.
“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari Romadhon sampai wafat kemudian Istri-istri Beliau beri’tikaf setelahnya.” (Bukhori 1886)
10 hari terakhir Ramadhan pun
mulai bersua, saatnya untuk berburu ibadah I’tikaf dimulai, seolah merasa bahwa
yang I’tikaf hanya saya sendiri di tengah keheningan malam, namun ternyata satu
demi satu hamba Allah yang taat datang dan tak mau ketinggalan moment berharga
ini.
Sehabis Ibadah Terawih bersama jama'ah mahasiswa/i lumayan sedikit dan imam
yang suara bacaannya bagus sarat dengan makna, ditambah dengan Masjid Kampus
yang jauh dari keramain di tengah hutan, hanya ditemani oleh sang kodok, lebah
dan tawon menjadi rukun dengan jama’ah, bahkan burung walet pun sesekali
berbunyi menyapa sanak saudaranya. Melengkapi kekhidmatan ibadah, di
daerah rantauan dan heningnya malam di Masjid Kampus yang sunyi.
Ketika malam mulai gelap, jam pun mulai mengarah meninggalkan menit demi menit.
jam demi jam, tapi suara indah tilawah terus ditilawahkan, seolah malam itu telinga dan pikiran ini diisi dengan Kalam
Allah, sejuk terasa berlomba-lomba melantunkan Ayat Suci dengan gaya dan suara
masing masing, membuat Masjid yang sepi seolah hidup disinari oleh bacaan, bak
seruan Sang Pencipta di Sidratul Muntaha, dan lentera di tengah kesunyian, sesekali
membaca maknanya menyempurnakan kenikmatan malam dan kekhidmatan sang pemburu
pahala malam. Mengejar
target khatam di bulan Ramadhan, serta meraih kemulian malam Lailatul Qodar.
Ditemani oleh para Malaikat yang mulia.
مَا
يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan
ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50]: 18)
Jam demi jam berlalu satu persatu jama'ah I’tikaf mulai berbaring alias tidur mempersiapkan dirinya
kembali untuk bangun jam 2 atau jam 3 menikmati kemulian sholat malam dan keberkahan sahur, namun ada juga
beberapa yang tetap istiqomah terus melantunkan suara indahnya, seolah matanya
tak capek dan tak tertidur, menengok mushaf hilangkan rasa kantuk, ditambah
dengan sesekali mengambil air wudhu, termaksud saya jama’ah yang masih istiqomah melanjutkan malam yang penuh
khidmat ini, dengan lantunan ayat-ayat Allah.
Kini Jamaah tilawah, perlahan demi perlahan mulai redup. Ditemani suara
keheningan malam yang kadang suara binatang pun ikut menyertai perburuan pahala
malam, di dinding dan langit-langit masjid diisi oleh
binatang yang memakmurkan Maskam (Masjid Kampus) mengisi sepi yang mulai merayap pasti. Sesekali
menengok jamaah yang mukim, merebahkan badannya sejenak di masjid sembari
meraih amal I’tikaf, terkadang suara ngorok melengkapi malam tersebut.
Jam 00.00 menuju ke jam 01.00
malam, mulai tak terdengar lagi suara
jama'ah tilawah. Satu persatu hilang
dan mulai tak terdengar.
Serasa tinggal sendiri yang tilawah, sesekali merenungkan maknanya di
tengah malam, Namun di kejauhan ada suara indah nan merdu di balik
tirai/hijab pembatas sholat berwarna hijau, bergelantungan setinggi 2
meter, berjarak 10 kaki kumelangkah dari
tempat kududuk, kelihatannya suara itu bukan dari jamaah ikhwan tapi jama’ah di
balik tirai itu (jamaah akhwat).
Kepikir dalam hati ini, maasyaAllah kuatnya gak
tidur akhwat ini. Makin malam suara indah pun terus
terdengar di telinga ini, saya pun mulai berhenti membaca Al-Qur’an, bukan
karena ingin mendengar bacaannya, target saya hari itu telah terpenuhi, pun tak
salah sembari menikmati suara indah di balik tirai pembatas tersebut.
Namun suara indah itu pun terus membaca ayat demi ayat, udah puluhan surat
dan udah banyak juz’’ terlewati dengan suara
merdunya, membuat mata ini tak mau tertutup, dan telinga ini seolah tak
henti-henti mendengarkannya. Sesekali aku bisa menangkap maksud dari ayat yang dia
baca.
إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.” (QS. al-Isra [17]: 36)
Jam 1, jam 2 suara itupun masih terdengar, ayat demi ayat,
surat demi surat ia baca dan lalui membuat saya iri padanya.
Melihat semangatnya,
pikiran negatif yang tak kuundang pun hadir.
“Ahh, cuma hari ini saja kok, besok-besoknya tepar (tidur) juga, hangat-hangat tai ayam.”
Hari berganti hari, malam genap dan ganjil mulai terlewat, suara indah di balik hijab hijau
tua, terus terlantunkan, sesekali mata tertutup, tapi resah bila terlewatkan
keindahan suara itu. Seolah menjawab dan membantah pikiran negatif ku, “hangat-hangat
tai ayam.”
Serasa ingin bertanya siapakah gerangan si dia
yang suaranya begitu indah dan bikin hati ini tentram mendengarnya, kuingin
mengutarakan pertanyaan.
Gerangan apa yang membuat ia kuat dari habis sholat isya dan terawih sampai menjelang sahur dan sholat subuh, mulutnya tak henti-hentinya melantunkan ayat suci tersebut.
Serasa ingin bertanya, “Gerangan apa yang membuat kedua matanya tak tertidur,
hanya ditemani oleh Mushaf yang berisi firman-firman Tuhan.”
Serasa ingin bertanya.
Rela melepaskan waktu malamnya, Yang Sang Pencipta pun bersua dalam firmannya,
“Malammu adalah
waktu kalian beristirahat.”. Apa yang membuat waktu istirahat malamnya terlewatkan dan ikhlas
menghabiskan malamnya dengan ibadah tilawah tak terasa capekkah mulutnya
bersuara dengan firmannya semalaman.
Penasaran pun menyertai hati ini, dan mulai kubertanya-tanya dalam benak
pikiran, sembari merebahkan badan, mereka-reka, dan menduga siapakah gerangan Si
dia yang masih misterius di balik tirai pembatas sholat jama’ah ikhwan dan
akhwat tersebut.
Sempat kuutarakan pertanyaan kepada teman-teman yang sempat menikmati suara indahnya, untuk menjawab rasa penasaran dan keingintahuan-ku.
Rasa penasaran yang hinggap itu bukan hanya diriku seorang yang bertanya
tanya, teman-temanku pun yang sempat terpikat suara tilawahnya pun, ingin mengetahui siapa gerangan Si dia yang misterius
itu, sesekali hal tersebut yang menjadi perbincangan kami (yang ikhwan para
bujang lapuk), tinggal berapa orang yang tak mudik ke kampung halaman, bukan
berniat mengunjing merusak amal puasa,
cuma penasaran dengan semangatnya.
Ujarku dengan teman-teman
(ikhwan) yang tidur malam di Masjid.
“Bro kuat ya Si dia, kemarin sampai jam
2 malam loh masih ON. Dia pake baterai apa yaa? kok kuat amat,
kapan lowbat-nya.?”
Kawan-kawan pun tidak tau gerangan siapa si dia yang menyimpan
banyak misteri di
balik tirai hijau tua pembatas sholat
tsb.
Kini suara itu entah kemana, Idul Fitri pun berlalu, berburu amalan malam
di hari-hari itikaf dibulan istimewa telah pamit, hari-hari Syawal kini
dijalani dengan biasa, kebiasaan ibadah Ramadhan kadang-kadang masih membekas,
kini Si dia yang tak sempat kuutarakan pertanyaan-pertanyan di benak utk
menjawab rasa penasaraanku.
Siapakah Si
dia? Kini mulai tak terdengar hanya tulisan ini untuk menyimpan
dan mengobati rasa penasaran ini.
Di
balik banyak misteri suara merdunya di malam yang hening itu, ku bisa belajar dari si dia dan mengambil hikmahnya.
Suaranya merdunya di
balik hijab itu telah mengajariku.
“Sungguh saya
telah berjumpa dengan beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam
menjaga waktu mereka daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan
dirham” (Al-Hasan Basri)
Keingintahuan-ku. Semangat
apa yg memotivasi Si dia ?
Membuatku
kembali membaca hadist Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam:
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ
الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللَّهِ
Tujuh
golongan yang akan mendapat naungan Allah Ta’ala pada hari yang tidak ada
naungan kecuali naunganNya: Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam
beribadah kepada Allah.. (HR. Bukhari: no. 1432 dan Muslim no. 1031)
Si
dia yang sampai sekarang masih misteri kuanggap dia adalah gadis (Ahkwat)
di balik
tirai/hijab hijau tua.
Telah mengingatkanku
tentang lima perkara sebelum datang lima perkara yang sebaliknya. Sehat sebelum sakit, muda sebelum
tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.
Suaranya masih membekas di
telinga ini, Si dia akhwat misterius pemburu pahala malam tersebut, beberapa
hari ia bermukim di masjid, membuat banyak kesan. lantunan ayat-ayat suci
memaksimalkan ibadah tilawah sembari mencari dan meraih amalan ibadah di malam lailatul
qodar. Mengajariku
banyak hal dalam mengakhiri episode ujung Ramadhan,
membuat bekas yang sekesan-kesan
mungkin pengembara pahala malam (si dia) kini telah meninggalkan
banyak pertanyaan dan misteri berbarengan dengan perginya bulan berkah
Ramadhan.
Dalam
hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
مَا
لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ
شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
”Apa
peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku hidup di dunia ini melainkan seperti
seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu
pengembara tersebut pergi meninggalkannya.”(HR. at-Tirmidzi no. 2377)
Si dia yang
berteduh di bawah bangunan berlantai tiga* yang sampai sekarang belum sempurna
hanya bekas cor-coran masih menempel, seolah bangunannya masih baru, padahal
umur bangunannya hampir 10 tahun, di masjid bukit perjuangan Hamfara, di sanalah
Si dia bermukim beberapa hari untuk meraih amal I’tikaf, hanya bekas-bekas
teduhannya masih tersimpan dalam ingatan meninggalkan pelajaran berharga dari
lautan suara merdu yang keluar dari mulutnya yang penuh dengan makna.
Meninggalkan untain hikmah
Hidup terasa indah justru di
saat kita keluar dari arena permainan yang penuh resiko sebagai pemenang. Sebaliknya,
pengecut adalah mereka yang hadir di bumi dan kehilangan arah, rendah kemauan,
serta membiarkan waktu berlalu tanpa makna
sedikitpun tanpa merasa berdosa.
kita
hadir di dunia bagai biduk perahu yang telah lepas dari tali tambatnya. Kini
hanya ada samudera terbentang di hadapan kita. Waspadalah! Kayuhlah terus,
melaju dengan gagah perwira. Jangan gelisah apalagi mengumbar sumpah serapah.
Sebab gerutu dan cacian tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah.
Berhentilah bila mengambil jalan yang salah. Tegarkan kaki, gerakkan tangan,
cerahkan pikiran, dan dayakan semua aset kemampuan yang dimiliki agar kehadiran
kita di muka bumi ini penuh arti.
Semoga kita termasuk orang-orang
yang dikaruniakan kepekaan untuk mengambil pelajaran dari setiap episode
kehidupan ini, menikmati Ramadhan dengan keberkahan dan pengalaman yang lebih
baik lagi.
*Masjid Kampus Sekolah tinggi Ekonomi
Islam Hamfara
(Bang Mar)