Membicarakan dasar negara
sesungguhnya bukan hal yang tabu. Para bapak bangsa telah mencontohkannya,
meski akhirnya diberangus tentara dan penguasa. Apakah kita ingin mencontoh
mereka juga?
Pembicaraan
tentang Dasar Negara kembali muncul pasca Pemilihan Umum 1955. Meski semula
diperkirakan bakal mendapat suara terbanyak dalam pemilu pertama di Indonesia
itu, partai Islam terkuat saat itu, Partai Masyumi, hanya menempati urutan ke
dua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan meraih 20,9 persen suara,
sementara Partai Nahdlatul Ulama yang telah keluar dari Masyumi tiga tahun
sebelumnya, berada di peringkat ke tiga dengan perolehan 18,4 persen suara.
Bila ditambah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang saat itu telah
menjadi partai kecil dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti),
jumlah total fraksi Islam hanya mencapai 42 persen. Namun, hanya dengan 42
persen itu pembicaraan tentang dasar negara dan konsep negara kembali marak di
Dewan Konstituante.
Konstituante, yang
berarti lembaga pembentuk undang-undang dasar dilantik oleh Presiden Soekarno
pada 10 November 1956. Yang menarik, dalam pidato pembukaan itu, Sukarno sempat
berpidato, yang memaparkan tentang sifat UUD 1945 yang hanya sementara:
“Kita bukan tidak memiliki
Konstitusi, malah dengan konstitusi yang berlaku sekarang, kita sudah memiliki
tiga konstitusi…. Tapi semua konstritusi [itu]… adalah bersifat sementara. Dan
semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota
sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum
yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi,
atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki
sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri.…” [i]
Memang, saat itu,
ketika Konstituante dibentuk, Indonesia telah memiliki tiga konstitusi, yakni
UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat 1949 dan UUD Sementara 1950. Karena
itu, menurut Adnan Buyung Nasution, Presiden Soekarno kemudian melanjutkan
pidatonya, “sesuai dengan makna kedaulatan rakyat, atau negara demokrasi,
sekaranglah saatnya wahai wakil-wakil rakyat bangsa Indonesia yang terhormat,
yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum (1955) itu, buatlah
Konstitusi yang seindah-indahnya, yang memuat butir-butir mutiara hak azasi
manusia yang seindah-indahnya.” [ii]
Pidato ini
sesungguhnya sangat relevan dengan pendapat Soekarno yang tertuang dalam pidatonya
sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agutus
1945:
“Undang-Undang Dasar yang dibuat
sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai
perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah
bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar
yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini
adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa
barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat
Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap.”[iii]
Rapat-rapat
Konstituante berlangsung di gedung Sociteit
de Concordia, sebuah gedung bercorak neo-kolonial nan megah di jantung
kota Bandung. Beberapa bulan sebelumnya, di gedung perkumpulan “keserasian
warga” (warga Hindia-Belanda golongan Europeanen) ini digelar Konferensi
Asia-Afrika yang memufakati gerakan nonblok. Dari gedung itulah wakil-wakil
rakyat Indonesia di Konstituante menggelar rapat, bermufakat tentang berbagai
masalah kenegaraan dan berdebat sengit tentang dasar negara, konsep negara,
implementasi kekuasaan dan pemerintahan serta bagaimana negara mengelola
potensi alam dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Persidangan Yang Seru
Setelah dilantik
Presiden Soekarno, Dewan Konstituante yang beranggotakan 514 orang itu langsung
bersidang. Pada masa persidangan pertama, bulan November hingga Desember 1956
ini, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditetapkan sebagai Ketua,
didampingi lima Wakil Ketua, masing-masing Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi,
Fatchurrahman Kafrawi dari Nahdlatul Ulama (NU), Johannes Leimena dari Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan
Hidajat Ratu Aminah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Selanjutnya,
dimulailah diskusi mengenai Peraturan Tata-tertib yang mencakup organisasi
Konstituante dan cara-cara kerjanya. Peraturan Tata-tertib ini kemudian
ditetapkan dalam sidang di semester pertama tahun 1957. Pada masa persidangan
ke dua tahun 1957, ada dua masalah yang diperdebatkan di Konstituante, yakni
pokok-pokok permasalahan yang akan dimasukkan ke dalam Undang-undang baru (20
Mei – 7 Juni) dan sistematika undang-undang dasar tersebut (11 – 13 Juni).
Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok pembahasan yang dianggap paling
penting, yakni soal Dasar Negara dan hak azasi manusia.
Sejak tanggal 11
November hingga 6 Desember 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara,
yakni Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi, diajukan, diperdebatkan dan
diperjuangkan oleh para pendukungnya. Perdebatan tentang Dasar Negara ini
berlangsung seru dan sangat sengit. Maklumlah, pembicaraan tentang masalah ini
sangat bersifat ideologis. Namun di luar sidang, hubungan antara anggota
Konstituante yang berdebat sengit itu tetap akrab. Bahkan menurut almarhum Usep
Ranawidjaja, meski berlangsung seru, para tokoh politik tetap menyampaikan
materi di atas mimbar dengan sopan santun.
Usep mengisahkan
pula ketika para singa panggung seperti Muhammad Natsir, Buya HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah), Muhammad Isa Anshari dari Masyumi, Sutan Takdir
Alisyahbana dari Partasi Sosialis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit dari Partai
Komunis Indonesia, dan beberapa nama lainnya, berpidato dan beradu argumentasi.
“Tidak ada saling tunjuk-tunjuk hidung, sabotase mikrofon, apalagi sampai
menggebrak meja,” ujar bekas Sekretaris Jenderal Konstituante itu kepada
Majalah Forum Keadilan, pada Juli 1995.[iv] Perbedaan visi di antara
mereka dan cara mereka mengungkapkan buah pikiran tampak begitu cerdas dan
menarik.
Adnan Buyung
Nasution juga menceritakan betapa para tokoh itu berdebat dengan kalimat yang
indah, cerdas dan kaya metafora. Natsir, misalnya, dalam pidato 13 November
1957 mengatakan, “Singkap daun, tampak buah,” untuk menyindir PKI yang getol
menyokong Pancasila meski punya pemikiran lain soal ideologi negara ini.
Sementara itu, Buya HAMKA pada sidang April 1959 mengatakan bahwa “Membuat UUD
bukan seperti pekerjaan menggosok-gosok lampu Aladin.” Saat itu sang ulama
besar tengah mengritik keras Presiden Soekarno yang giat mengkampanyekan ide
kembali ke UUD 1945 dengan menggelar rapat raksasa di berbagai tempat.
Antar pendukung
Pancasila pun kadang terjadi perdebatan seru yang menarik. Misalnya ketika
Konstituante membahas tentang lambang negara, Garuda Pancasila. Saat itu,
Partai Murba —partai yang dibentuk mendiang Tan Malaka dan para kadernya—
meminta agar burung garuda pada lambang negara menoleh ke kiri, bukan ke kanan
seperti saat ini. Untuk mempertahankan pendapat bahwa yang benar adalah
burung garuda yang menoleh ke kanan, Sri Soemantri anggota Konstituante dari
Partai Nasional Indonesia keluar-masuk museum dan perpustakaan untuk
mendapatkan referensi soal mitos sang garuda. Karena tidak menemukan jawaban
yang “ilmiah”, di arena sidang Soemantri akhirnya mengatakan, “Kalau menghadap
ke kiri itu dalam bahasa Jawa artinya pakiwan atau jumbleng (WC). Masak, tempat
yang jorok-jorok jadi lambang, kan ndak mungkin…” [v]
Bagi para
pendukung Pancasila –termasuk kalangan Nasionalis, Sosialis maupun Komunis–
para tokoh singa podium dari Partai-partai Islam yang mengajukan ide Dasar
Negara Islam adalah lawan debat yang alot dan tangguh dalam ruangan sidang.
Namun, di luar sidang, mereka adalah kawan nongkrong yang mengasyikkan. “Di
dalam ruang mereka saling serang seperti mau perang saja. Tapi di luar sidang
mereka asyik ngopi, ngobrol, dan tertawa bersama,” kata Buyung Nasution. Kerap
terlihat Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, ngopi bareng dengan Ketua CC PKI
DN Aidit, di Kafe Konstituante. Isa Anshari yang antikomunis akrab di luar
sidang dengan Aidit. Mereka berdebat di ruang sidang seperti orang berkelahi,
tapi begitu keluar, mereka tertawa-tawa seperti tidak terjadi apa-apa.
Masa persidangan
pertama di tahun 1957 inilah yang bisa dikatakan sebagai Sidang Konstituante
yang paling sengit, panas, namun juga bertele-tele dan melelahkan. Untunglah,
Dewan Konstituante segera menyadari hal ini. Setelah berdialog terbuka, akhirnya
pada 6 Desember 1957 sidang pleno memutuskan untuk sementara menangguhkan dulu
pembahasan tentang masalah Dasar Negara. Panitia Persiapan Konstitusi kemudian
diserahi tugas mempersiapkan rumusan yang akan memungkinkan terjadinya
kompromi. Dewan Konstituante bertekad untuk menyelesaikan masalah yang besar
lainnya, sebab dalam sebuah konstitusi, masalah dasar negara bukanlah masalah
penting satu-satunya yang bisa dibahas. Masalah penting lainnya adalah tentang
bagaimana mengatur dan merumuskan tentang struktur kekuasaan, pembatasan
kekuasaan, hak asasi manusia, bentuk negara, hubungan pusat daerah, masalah
keuangan, dan sebagainya.
Pada masa
persidangan tahun 1958, Konstituante benar-benar mengerahkan tenaga dan fikiran
untuk merumuskan berbagai rancangan pasal yang akan disusun dalam sebuah UUD
baru pengganti UUD 1945 kelak. Bahkan untuk mengintensifkan pembahasan, pada
tahun 1958 Konstituante merancang masa persidangan menjadi tiga kali dalam
setahun. Saat itulah mereka bekerja keras mengejar waktu, mencurahkan tenaga,
pikiran serta akal budi, serta menunjukkan kesungguhan mereka untuk membangun
sebuah negara yang konstitusional.
Maka, pada tanggal
11 September 1958, ketika masa persidangan berakhir, Wilopo, sang Ketua
Konstituante dengan bangga mengatakan bahwa setelah bekerja keras, Konstituante
telah berhasil mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan ‘panen
keputusan’ dan ia bergembira karena panen besar itu merupakan hasil dan
benih-benih tanaman Konstituante sendiri. [vi] Maka pada akhir sidang tahun
1958, tujuh bulan sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, sesungguhnya
Konstituante telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. [vii]
Di luar soal dasar
negara, para perumus konstitusi itu juga telah menelurkan puluhan rancangan
yang kelak akan ditetapkan menjadi pasal-pasal Undang-undang Dasar yang baru.
Berbagai rancangan itu meliputi wilayah nasional, hak-hak asasi manusia, hak
dan kewajiban warga negara, ekonomi nasional, serta hukum dan badan peradilan.
Semua rancangan –yang menurut Adnan Buyung Nasution sarat dengan pengakuan hak
azasi manusia dan penegakan hukum dan keadilan itu– kini seolah terlupakan. Persoalan
yang senantiasa diingat dan dijadikan momok adalah terjadinya perdebatan sengit
tentang ideologi.[viii]
Karena materi
pembahasan pasal-pasal telah hampir usai, maka pada masa persidangan pertama
tahun 1959, Konstituante kembali membahas Mukadimah Undang-Undang Dasar. Di
dalam pembahasan mukadimah inilah, muncul kembali perdebatan tentang Dasar
Negara, apakah tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta akan disebut
kembali, atau tidak. Malasalah lain yang dibahas adalah tentang sistem
pemerintahan Indonesia, apakah akan mengambil sistem presidensiil ataukah
parlementer.
Benturan tajam dan
kemuskilan kompromi antara berbagai kekuatan politik saat itu, terutama dari
faksi Islam dan faksi Komunis-Sosialis, membuat Presiden Soekarno yang ingin
kembali berkuasa secara riil dan bukan hanya menjadi Kepala Negara, mulai
kehabisan kesabaran. Apalagi saat itu negara sedang dilanda krisis ekonomi,
sementara Presiden dilempari granat, dan beberapa daerah bergolak. Karena itu,
Konstituante diminta menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya
nanti pada 26 Maret 1960.
Entah mengapa,
Konstituante mau menari mengikuti gendang yang dipukul Presiden Soekarno yang
terus mengajak untuk “lekas, lekas, dan lekas kembali ke UUD 1945″. Agenda
Konstituante yang telah dirancang sebelumnya untuk memutuskan bentuk negara dan
sistem pemerintahan, mukadimah UUD, dan asas negara akhirnya dikesampingkan.
Kompromi yang tinggal 10 persen akhirnya tidak diupayakan lagi. Sementara itu,
tujuh kata yang ditawarkan Presiden Soekarno sebagai langkah kompromi, dalam
pidatonya “Respublica, Sekali Lagi Respublica” di depan Konstituante, ternyata
tak meredakan benturan.
Perdebatan kembali
memanas tatkala fraksi-fraksi Islam menyatakan bersedia kembali ke UUD 1945
tapi dengan amandemen. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah
masuknya tujuh kata di Pembukaan dan di pasal 29. Tujuh kata itu, “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tercantum dalam
Piagam Jakarta yang dicetuskan pada 22 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Semula, tujuh kata itu termasuk dalam
pembukaan UUD. Namun, kata-kata ini kemudian dihapus ketika Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Atas usulan
fraksi-fraksi Islam, blok Pancasila yang terdiri atas fraksi-fraksi nasionalis,
partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, serta golongan dan perorangan
nonpartai kemudian merapatkan barisan. Mereka bertekad untuk menerima UUD 1945
tanpa perubahan apa pun. Musyawarah untuk mufakat tak tercapai sehingga
dilakukan voting. Voting pertama pada hari Jumat, 29 Mei 1959, adalah untuk
“setuju” atau “tidak” terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan oleh
blok Islam. Hasilnya, dari 470 anggota yang hadir, 201 setuju dan 265 tidak,
dengan empat anggota abstain.
Karena suara
pro-amandemen tak mencapai persyaratan untuk diterima (2/3 suara dari yang
hadir), dan bahkan kalah suara, usul amandemen pun batal. Namun, nasib serupa
juga dialami oleh pendukung UUD 1945 tanpa perubahan. Selama tiga hari untuk
tiga kali pemungutan suara, hasilnya ternyata tak cukup memenuhi kuorum 2/3
suara. Pada Sabtu, 30 Mei, hasil voting 269 setuju lawan 199 tidak setuju. Pada
Senin, 1 Juni, 264 orang anggota setuju sementara 204 menolak. Sedangkan pada
pemungutan suara hari Selasa, 2 Juni, 263 orang anggota setuju dan 203 anggota
menolak. Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu akhirnya ditutup pada 2 Juni
1959 pukul 12.21.
Dalam sidang
sehari sebelum reses (3 Juni 1959) itu, sebenarnya masih ada dua kesempatan
lagi untuk voting. Namun dengan menimbang suasana voting sebelumnya yang telah
menemui jalan buntu, Ketua Konstituante, Wilopo angkat bicara.
“Saudara-saudara, sudahlah, sekarang kurang bermanfaat melanjutkan
permusyawaratan. Sebaiknya sidang pleno kita akhiri saja,” ujarnya, seperti
yang tertulis dalam Risalah Konstituante. Ia pun mengusulkan untuk berkompromi,
yakni berunding dengan pemerintah untuk meninjau usaha Konstituante menyusun
rancangan UUD baru, termasuk usul pemerintah kembali ke UUD 1945. Semua anggota
setuju, dan palu pun terayun. “Dok, dok, dok!” Wilopo menutup sidang. Inilah
saat terakhir Konstituante yang telah berupaya keras selama dua tahun enam
bulan dua hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar
negaranya.
Ide Soekarno dan Dorongan Tentara
Keesok harinya,
Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal A.H. Nasution langsung mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang berisi tentang larangan
kegiatan berpolitik. Negara pun dinyatakan dalam Keadaan Darurat Perang (SOB =
Staat van Oorlog en Beleg). Perpu ini langsung mengebiri aktivitas
partai-partai politik. Selain itu, Perpu ini juga jelas-jelas menghambat
kegiatan lanjutan Konstituante, lembaga yang terdiri dari banyak parpol yang
telah dilarang kegiatannya. Saat itu sekitar 18 partai bereaksi. Mereka
mengeluarkan resolusi untuk tidak akan menghadiri lagi sidang Konstituante
setelah masa reses. Gerakan ini dimotori oleh PNI dan PKI.
Kesan yang
dihembus-hembuskan sejak masa pemerintahan Soekarno, Soeharto hingga jaman
Reformasi ini, bahwa sidang Konstituante tidak selesai-selesai gara-gara
perdebatan sengit tentang masalah Dasar Negara, sesungguhnya tidak terlalu
tepat. Sebab, perdebatan sengit itu sesungguhnya hanya terjadi dalam satu masa
persidangan saja, yakni masa persidangan ke dua tahun 1957. Sementara itu,
semua rapat pleno Konstituante terbuka untuk umum. Bahkan beberapa anggota
mengusulkan agar disediakan pengeras suara di luar karena banyak pengunjung
yang tidak kebagian tempat di dalam, tapi loudspeaker tak kunjung dipasang.
Meskipun demikian, masyarakat yang bisa mengikuti langsung perdebatan tak
pernah terpancing untuk menjadi reaktif dan melancarkan demonstrasi dan pengerahan
massa.
Pengerahan massa
yang terjadi justru dibikin pemerintah, yakni pada 22 April 1959, ketika
Presiden Soekarno berpidato di hadapan Konstituante untuk mengajak kembali ke
UUD 1945. Segerombolan massa yang dikerahkan militer tampak bersorak riuh di
depan gedung sambil membentangkan slogan, “Jagalah jangan sampai negara dan
rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa bertindak
sendiri, sebagaimana kita saksikan pada permulaan revolusi nasional kita.”
Sementara itu, khusus hari itu pula dipasang pengeras suara di luar. Suara
massa bergemuruh menyambut retorika Sang Presiden. Apa yang dikhawatirkan
tentang kediktatoran dalam demokrasi terpimpin terjadi.
Kematian
Konstituante diumumkan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada 5 Juni 1959,
pada saat Konstituante mengalami reses. Dengan Dekrit Presiden, Soekarno
membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu,
dimulailah masa baru yang represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah
masa Demokrasi Terpimpin. Padahal, Soekarno telah mengisyaratkan cita-citanya
untuk berkuasa di atas partai-partai politik dan bahkan konstitusi, sejak tiga
tahun sebelum gerhana politik itu terjadi. Dalam perayaan hari Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1956, ia berpidato:
“Ini malam saya mimpi lagi,
Saudara-saudara! Dan tahukah Saudara-saudara impianku ini malam? Tahukah
Saudara-saudara pemuda dan pemudi, impianku pada saat aku berpidato di hadapan
Saudara-saudara ini? Impianku — lha mbok, ya — kata orang Jawa, lha mbok ya, pada
satu saat, pentolan-pentolan, artinya pemimpin-pemimpin dari partai-partai ini,
berjumpa satu sama lain, mengadakan musyawarat satu sama lain, dan lantas
mengambil keputusan satu sama lain: Marilah sekarang ini bersama-sama
menguburkan semua partai,” kata Sukarno, dalam suara baritonnya,” [ix]
Pidato itu tak
lebih dari aba-aba si Bung ke arah apa yang kelak disebut sebagai Demokrasi
Terpimpin. Saat itu juru bicara partai-partai tentu menolak gagasan Soekarno
karena mereka dijadikan korban, tetapi mereka juga bingung dan ragu-ragu
bagaimana merumuskan ketidaksetujuannya.[x] Tapi, sebagaimana bisa diduga, si
Bung jalan terus. “Saya tidak lagi cuma mimpi,” katanya, 30 Oktober 1956, di
hadapan kongres PGRI, “Pembubaran partai-partai dengan tegas saya anjurkan”.
Tak sampai setahun kemudian, di hadapan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat,
21 Februari 1957, Soekarno menjelaskan konsepsinya:
“Untuk mengatasi
kesukaran-kesukaran yang kita hadapi sampai pada waktu ini, perlu sekali sistem
pemerintahan yang berlaku sekarang dihapuskan dan diganti dengan suatu sistem
yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebab demokrasi yang sampai
kini kita anut, adalah demokrasi impor dari Barat, yang tidak cocok dengan jiwa
bangsa kita,” katanya. [xi]
Rupanya, karena
seolah tidak lagi menjadi tokoh sentral pemerintahan –karena hanya menjadi
Kepala Negara– Soekarno kemudian mulai merancang langkah-langkahnya kembali
menuju pusat kekuasaan dan pemerintahan. Pada 1957 Soekarno membentuk Kabinet
Juanda setelah jatuhnya kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan mengangkat dirinya
sendiri sebagai formatur tunggal. Kemudian, pada 6 Mei 1957 Soekarno membentuk
Dewan Nasional yang diketuainya. Dewan Nasional ini seolah menggantikan peran
partai-partai politik. Semua itu terjadi ketika suasana politik semakin panas,
kabinet jatuh bangun, dan krisis ekonomi mulai melanda. Kabinet Juanda tak
mampu mengatasi semua itu dan jatuh.
Situasi semakin
bergulir kencang ketika pada Januari 1958, sejumlah tokoh berkumpul di Sumatera
Barat. Mereka — mulai dari Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara,
Ketua Masjumi Muhammad Natsir, sampai Bekas Perdana Menteri Burhanudin Harahap–
menentang tindakan-tindakan Sukarno dalam politik pemerintahan dan mengritik
pembangunan yang tidak merata. Setahun sebelumnya, di propinsi ini Letkol Ahmad
Husein telah memaklumkan pula perlawanan daerah dengan pembentukan Dewan
Banteng yang disusul dengan Dewan Garuda dan Dewan Gajah di Palembang dan
Medan.
Dua tahun
kemudian, pada 20 Februari 1959, Soekarno mulai mencanangkan ide untuk kembali
ke UUD 1945. Gongnya adalah pidato 17 Agustus si Bung tahun itu, “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Pidato ini kelak lebih populer disebut sebagai
Manifesto Politik Republik Indonesia atau Manipol USDEK. Pernyataan ini berintikan
lima hal, yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Seiring dengan
manuver Soekarno, tentara rupanya mempunyai skenario lain. Di luar Dewan
Konstituante, Dewan Nasional yang didukung Presiden Soekarno berkampanye untuk
kembali ke UUD ’45. Sementara itu, sidang Konstituante diisukan mandeg. Padahal
kemandegan itu juga terjadi karena sabotase dan pemblokiran massa yang
didalangi tentara. Saat itu, massa menghalang-halangi jalan para anggota Dewan
Konstituante yang hendak bersidang dengan berunjuk rasa, demonstrasi dan
mengepung Gedung Konstituante. Dalam berbagai aksi ini, peran Mayor Jenderal
Abdul Haris Nasoetion yang baru saja diangkat lagi oleh Soekarno sebagai Kepala
Staf TNI Angkatan Darat pasca pemberontakan PRRI/Permesta.
Menurut Adnan
Buyung Nasution, saat itu KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasoetion terus
mendesak Presiden Soekarno agar segera mengakhiri debat berkepanjangan di
Konstituante dalam menentukan UUD. Abdul Haris Nasoetion-lah yang mengendalikan
unjuk rasa, demonstrasi dan pengepungan itu, serta dengan gencar
menggembar-gemborkan semangat “kembali ke UUD ’45″. Abdul Haris Nasoetion
pulalah yang “mengompori” Presiden Soekarno untuk segera memutuskan dekrit.
[xii]
Maka berdasarkan
telex Jenderal Nasoetion, sepulang dari Tokyo, Presiden Soekarno langsung
mengumumkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu,
Soekarno membubarkan Dewan Konstituante, menetapkan untuk kembali ke UUD ’45,
dan mencabut berlakunya UUD Sementara 1950. Padahal saat pembukaan sidang
pertama Dewan Konstituante, Soekarno pernah berharap agar Konstituante
membentuk Undang-Undang Dasar baru, karena UUD 1945 adalah UUD yang terlalu
singkat dan dibuat pada masa darurat… Namun, sejarah membuktikan bahwa Presiden
Soekarno telah menarik sendiri ucapannya dengan menetapkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959.
Oleh : Hanibal
Wijayanta – Jurnalis Senior
[i]
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia. Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959. Cetakan ke dua.
Pustaka Grafiti Utama. Jakarta. 2001. Halaman 260
[ii]
Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta.
Juli 1995.
[iii]
Naskah Pidato Presiden Soekarno. 18 Agustus 1945.
[iv]
Usep Ranawidjaja, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995
[v]
Sri Sumantri, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995
[vi]
Nasution. Adnan Buyung. Ibid. halaman 43.
[vii]
Nasution. Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[viii]
Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[ix]
M.Yunan Nasution. Kenang-Kenangan Dibelakang Terali Besi Dizaman Orla. Bulan
Bintang
[x]
John D. Legge, Sukarno Biografi Politik. CV. Mitra Sari,
Jakarta 2001.
[xi]
John D.Ledge, ibid.
[xii] Adnan
Buyung Nasution. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
A Short Description about youself
Any feedback, questions or ideas are always welcome. In case you are posting Code ,then first escape it using Postify and then paste it in the comments
0 komentar: