Telunjuk mu adalah kekuasaan mu

Telunjuk mu adalah kekuasaan mu
kekuatan yang dimiliki pemimpin adalah telunjuknya.

Jumat, 11 September 2015

CERPEN ( Cerita Pendek )





Utamart | 19.25 | 0 Comments

RDH* Dan Gadis Dibalik Tirai Pembatas Sholat
  
Untain kisah terukir di bulan nan Ramadhan, serasa sebulan Ramadhan penuh dengan cerita yang tak lekang oleh ibadah dan amal kebaikan, tak tertimbun oleh masa dan waktu penuh dengan pengalaman baru yang menginspirasi.

Namun Ramadhan tahun ini agak berbeda dengan biasanya, Ramadhan tahun lalu banyak terhabiskan di kampung halaman, bersua dan bergembira ria bersama keluarga, namun kali ini kuhabiskan bulan yang istimewa ini full di daerah rantaun kota Benteng. Menyamai kebersamaan RDH.

Perasaan gembira, kangen, sedih, kesepian dan banyak lagi suasana hati yg tak dapat didefinisikan menyertai Ramadhanku kali ini.

Gembira bisa dipertemukan dengan bulan istimewa, keutamaan, kemuliaan, dan Sunnah-nya pun bernilai berkali-kali lipat, bahkan yang tidur sajapun menjadi amalan ibadah produktif berbuah pahala berkali-kali lipat.

Sedih, kangen, rindu, juga meyertai suasana hati ini, ketika menjelang akhir-akhir Ramadhan, kesedihan bak cerita Zainuddin dan Hayati dalam cerita “Tenggelamnya Kapal Vanderwick”, ketika melihat kebahagian dan senyuman teman-teman se-asrama menikmati suasana mudik ke kampungnya masing masing, membuat asrama/tempat tinggalku di rantauan kosong dari suara, seolah asrama yang sudah sepi ini menjadi sepi sunyi, ditemani tetesan air kapur memenuhi ember di kamar mandi, hidup seperti angka satu, melengkapi kesedihan akan perpisahan dengan kekasih Ramadhan.

Apalagi kalau disapa dan ditanya kapan balik,,,,? (Ujar teman-teman bila mereka pamit ke kampungnya)
Di mulut sok tegas berujar, “Saya gak balik. Masa anak perantauan tiap tahun balik.
Tapi di dalam hati menangis teringin pulang merajut ukhuwah melepas Ramadhan dengan keluarga.
Tapi itulah pilihan, tetap setia di kota Istimewa, di bulan yang istimewa, kerelaan tidak merayakan Sholat Idul Fitri dan suasana budaya bagi-bagi amplop di kampung.

Namun, bukan itu yang ingin kuceritakan.

Ketika orang-orang bergegas, bersiap-siap pulang ke kampung di hari 10 terakhir Ramadhan. Ketika orang-orang sudah mulai tersibukkan dengan baju lebaran dan kue oleh-oleh untuk lebaran, ramainya pasar, mall dan terminal, ketika Televisi pun beralih dari tausyah menjadi kabar mudik.
Lain halnya dengan hamba-hamba Allah yang lain, merancang dan mempersiapkan waktu malamnya beribadah I’tikaf yang maksimal.

“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari Romadhon sampai wafat kemudian Istri-istri Beliau beri’tikaf setelahnya.” (Bukhori 1886)

10 hari terakhir Ramadhan pun mulai bersua, saatnya untuk berburu ibadah I’tikaf dimulai, seolah merasa bahwa yang I’tikaf hanya saya sendiri di tengah keheningan malam, namun ternyata satu demi satu hamba Allah yang taat datang dan tak mau ketinggalan moment berharga ini.

Sehabis Ibadah Terawih bersama jama'ah mahasiswa/i lumayan sedikit dan imam yang suara bacaannya bagus sarat dengan makna, ditambah dengan Masjid Kampus yang jauh dari keramain di tengah hutan, hanya ditemani oleh sang kodok, lebah dan tawon menjadi rukun dengan jama’ah, bahkan burung walet pun sesekali berbunyi menyapa sanak saudaranya. Melengkapi kekhidmatan ibadah, di daerah rantauan dan heningnya malam di Masjid Kampus yang sunyi.

Ketika malam mulai gelap, jam pun mulai mengarah meninggalkan menit demi menit. jam demi jam, tapi suara indah tilawah terus ditilawahkan, seolah malam itu telinga dan pikiran ini diisi dengan Kalam Allah, sejuk terasa berlomba-lomba melantunkan Ayat Suci dengan gaya dan suara masing masing, membuat Masjid yang sepi seolah hidup disinari oleh bacaan, bak seruan Sang Pencipta di Sidratul Muntaha, dan lentera di tengah kesunyian, sesekali membaca maknanya menyempurnakan kenikmatan malam dan kekhidmatan sang pemburu pahala malam. Mengejar target khatam di bulan Ramadhan, serta meraih kemulian malam Lailatul Qodar. Ditemani oleh para Malaikat yang mulia.

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50]: 18)

Jam demi jam berlalu satu persatu jama'ah Itikaf mulai berbaring alias tidur mempersiapkan dirinya kembali untuk bangun jam 2 atau jam 3 menikmati kemulian sholat malam dan keberkahan sahur, namun ada juga beberapa yang tetap istiqomah terus melantunkan suara indahnya, seolah matanya tak capek dan tak tertidur, menengok mushaf hilangkan rasa kantuk, ditambah dengan sesekali mengambil air wudhu, termaksud saya jamaah yang masih istiqomah melanjutkan malam yang penuh khidmat ini, dengan lantunan ayat-ayat Allah.

Kini Jamaah tilawah, perlahan demi perlahan mulai redup. Ditemani suara keheningan malam yang kadang suara binatang pun ikut menyertai perburuan pahala malam, di dinding dan langit-langit masjid diisi oleh binatang yang memakmurkan Maskam (Masjid Kampus) mengisi sepi yang mulai merayap pasti. Sesekali menengok jamaah yang mukim, merebahkan badannya sejenak di masjid sembari meraih amal I’tikaf, terkadang suara ngorok melengkapi malam tersebut.

Jam 00.00 menuju ke jam 01.00 malam, mulai tak terdengar lagi suara jama'ah tilawah. Satu persatu hilang dan mulai tak terdengar.

Serasa tinggal sendiri yang tilawah, sesekali merenungkan maknanya di tengah malam, Namun di kejauhan ada suara indah nan merdu di balik tirai/hijab pembatas sholat berwarna hijau, bergelantungan setinggi 2 meter,  berjarak 10 kaki kumelangkah dari tempat kududuk, kelihatannya suara itu bukan dari jamaah ikhwan tapi jama’ah di balik tirai itu (jamaah akhwat).

Kepikir dalam hati ini, maasyaAllah kuatnya gak tidur akhwat ini. Makin malam suara indah pun terus terdengar di telinga ini, saya pun mulai berhenti membaca Al-Qur’an, bukan karena ingin mendengar bacaannya, target saya hari itu telah terpenuhi, pun tak salah sembari menikmati suara indah di balik tirai pembatas tersebut.

Namun suara indah itu pun terus membaca ayat demi ayat, udah puluhan surat dan udah banyak juz’’ terlewati dengan suara merdunya, membuat mata ini tak mau tertutup, dan telinga ini seolah tak henti-henti mendengarkannya. Sesekali aku bisa menangkap maksud dari ayat yang dia baca.

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. al-Isra [17]: 36)

Jam 1, jam 2 suara itupun masih terdengar, ayat demi ayat, surat demi surat ia baca dan lalui membuat saya iri padanya.

Melihat semangatnya, pikiran negatif yang tak kuundang pun hadir.
“Ahh, cuma hari ini saja kok, besok-besoknya tepar (tidur) juga, hangat-hangat tai ayam.”
Hari berganti hari, malam genap dan ganjil mulai terlewat, suara indah di balik hijab hijau tua, terus terlantunkan, sesekali mata tertutup, tapi resah bila terlewatkan keindahan suara itu. Seolah menjawab dan membantah pikiran negatif ku,hangat-hangat tai ayam.

Serasa ingin bertanya siapakah gerangan si dia yang suaranya begitu indah dan bikin hati ini tentram mendengarnya, kuingin mengutarakan pertanyaan.



Gerangan apa yang membuat ia kuat dari habis sholat isya dan terawih sampai menjelang sahur dan sholat subuh, mulutnya tak henti-hentinya melantunkan ayat suci tersebut.
Serasa ingin bertanya, Gerangan apa yang membuat kedua matanya tak tertidur, hanya ditemani oleh Mushaf yang berisi firman-firman Tuhan.

Serasa ingin bertanya.
Rela melepaskan waktu malamnya, Yang Sang Pencipta pun bersua dalam firmannya,  “Malammu adalah waktu kalian beristirahat.. Apa yang membuat waktu istirahat malamnya terlewatkan dan ikhlas menghabiskan malamnya dengan ibadah tilawah tak terasa capekkah mulutnya bersuara dengan firmannya semalaman.

Penasaran pun menyertai hati ini, dan mulai kubertanya-tanya dalam benak pikiran, sembari merebahkan badan, mereka-reka, dan menduga siapakah gerangan Si dia yang masih misterius di balik tirai pembatas sholat jama’ah ikhwan dan akhwat tersebut.

Sempat kuutarakan pertanyaan kepada teman-teman yang sempat menikmati suara indahnya, untuk menjawab rasa penasaran dan keingintahuan-ku.

Rasa penasaran yang hinggap itu bukan hanya diriku seorang yang bertanya tanya, teman-temanku pun yang sempat terpikat suara tilawahnya pun, ingin mengetahui siapa gerangan Si dia yang misterius itu, sesekali hal tersebut yang menjadi perbincangan kami (yang ikhwan para bujang lapuk), tinggal berapa orang yang tak mudik ke kampung halaman, bukan berniat mengunjing  merusak amal puasa, cuma penasaran dengan semangatnya.

Ujarku dengan teman-teman (ikhwan) yang  tidur  malam di Masjid.

“Bro kuat ya Si dia, kemarin sampai jam 2 malam loh masih ON. Dia pake baterai apa yaa? kok kuat amat, kapan lowbat-nya.?

Kawan-kawan pun tidak tau gerangan siapa si dia yang menyimpan banyak misteri di balik tirai hijau tua pembatas sholat tsb.

Kini suara itu entah kemana, Idul Fitri pun berlalu, berburu amalan malam di hari-hari itikaf dibulan istimewa telah pamit, hari-hari Syawal kini dijalani dengan biasa, kebiasaan ibadah Ramadhan kadang-kadang masih membekas, kini Si dia yang tak sempat kuutarakan pertanyaan-pertanyan di benak utk menjawab rasa penasaraanku.

Siapakah Si dia? Kini mulai tak terdengar hanya tulisan ini untuk menyimpan dan mengobati rasa penasaran ini.

Di balik banyak misteri suara merdunya di malam yang hening itu, ku bisa belajar dari si dia dan mengambil hikmahnya.

Suaranya merdunya di balik hijab itu telah mengajariku.
 “Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu mereka daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham” (Al-Hasan Basri)

Keingintahuan-ku.  Semangat apa yg memotivasi Si dia ?
Membuatku kembali membaca hadist Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللَّهِ

Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah Ta’ala pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya: Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.. (HR. Bukhari: no. 1432 dan Muslim no. 1031)

Si dia yang sampai sekarang masih misteri kuanggap dia adalah gadis (Ahkwat) di balik tirai/hijab hijau tua.

Telah mengingatkanku tentang lima perkara sebelum datang lima perkara yang sebaliknya. Sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.

Suaranya masih membekas di telinga ini, Si dia akhwat misterius pemburu pahala malam tersebut, beberapa hari ia bermukim di masjid, membuat banyak kesan. lantunan ayat-ayat suci memaksimalkan ibadah tilawah sembari mencari dan meraih amalan ibadah di malam lailatul qodar. Mengajariku banyak hal dalam mengakhiri episode ujung Ramadhan, membuat bekas yang sekesan-kesan mungkin pengembara pahala malam (si dia) kini telah meninggalkan banyak pertanyaan dan misteri berbarengan dengan perginya bulan berkah Ramadhan.

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
”Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku hidup di dunia ini melainkan seperti seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu pengembara tersebut pergi meninggalkannya.”(HR. at-Tirmidzi no. 2377)

Si dia yang berteduh di bawah bangunan berlantai tiga* yang sampai sekarang belum sempurna hanya bekas cor-coran masih menempel, seolah bangunannya masih baru, padahal umur bangunannya hampir 10 tahun, di masjid bukit perjuangan Hamfara, di sanalah Si dia bermukim beberapa hari untuk meraih amal I’tikaf, hanya bekas-bekas teduhannya masih tersimpan dalam ingatan meninggalkan pelajaran berharga dari lautan suara merdu yang keluar dari mulutnya yang penuh dengan makna. Meninggalkan untain hikmah

Hidup terasa indah justru di saat kita keluar dari arena permainan yang penuh resiko sebagai pemenang. Sebaliknya, pengecut adalah mereka yang hadir di bumi dan kehilangan arah, rendah kemauan, serta membiarkan waktu berlalu tanpa makna sedikitpun tanpa merasa berdosa.
kita hadir di dunia bagai biduk perahu yang telah lepas dari tali tambatnya. Kini hanya ada samudera terbentang di hadapan kita. Waspadalah! Kayuhlah terus, melaju dengan gagah perwira. Jangan gelisah apalagi mengumbar sumpah serapah. Sebab gerutu dan cacian tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah. Berhentilah bila mengambil jalan yang salah. Tegarkan kaki, gerakkan tangan, cerahkan pikiran, dan dayakan semua aset kemampuan yang dimiliki agar kehadiran kita di muka bumi ini penuh arti.

Semoga kita termasuk orang-orang yang dikaruniakan kepekaan untuk mengambil pelajaran dari setiap episode kehidupan ini, menikmati Ramadhan dengan keberkahan dan pengalaman yang lebih baik lagi.

*Masjid Kampus Sekolah tinggi Ekonomi Islam  Hamfara


(Bang Mar)

Read more ...

Minggu, 26 Juli 2015

Asal Usul Lambang Kesultanan Bima





Utamart | 21.54 | 0 Comments


Asal Usul Lambang Kesultanan Bima


Lambang atau bendera menjadi satu dari sekian banyak identitaspenting bagi sebuah bangsa. Bahkan di era modern seperti sekarang ini, bendera kerap digunakan sebagai simbol pemersatu untuk komunitas-komunitas hobi; sebutlah misalnya bendera klub sepakbola, bendera perkumpulan fans suatu grup musik, bahkan lambang resmi organisasi-organisasi sosial maupun politik. Mungkin bukanlah suatu hal yang menarik ketika mengupas eksistensi historis bendera Bima.

Tetapi sebagai sebuah entitas kebudayaan nusantara, rasanya rugi juga kalau melewatkan keberadaan simbol tersebut dalam perspektif kebimaan kita hari ini. Dalam buku Sejarah Bima Dana Mbojo karangan Alm. H. Abdullah Tajib, BA, bendera atau lambang Kerajaan Bima pertama kali dikenal setelah disahkan oleh ketetapan majelis Paruga Suba dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam pada hari Selasa tanggal 22 Dzulkaidah 1203 H bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1789. Walaupun pada tahun 1886 Kesultanan Bima telah menanda-tanganiLange Verklaring, bendera tersebut tetap dikibarkan sebagai pertanda bahwa kedaulatan Kerajaan Bima tetap diakui.
Sebagai sebuah kerajaan bercorak dan berideologi Islam, maka keberadaan kesultanan Bima pada abad ke 17 sampai pada abad 19 tidaklah harus dilihat sebagai sebuah negeri yang berdiri sendiri. Tiga abad sebelum Abdul Kahir menjadi Sultan, kerajaan-kerajaan Islam sudah berdiri dan maju pesat di wilayah semenanjung Malaka, dua abad sebelumnya juga Islam sudah berkembang di Demak dan Jawa Timur, bahkan satu abad sebelumnya sebuah kerajaan Islam sudah berdiri di Maluku. Tentu saja, eksistensi Kesultanan Bima tidak bisa dipisahkan dari percaturan politik Islam di Nusantara, yang nantinya dapat dirangkai dengan hubungan-hubungan diplomatik dengan kekuasaan Islam global. Saya menduga ada dua latar belakang penggunaan Garuda berkepala Dua ini sebagai simbol resmi Kerajaan Bima.

Pengaruh Khilafah Utsmaniyyah Turki
Seperti yang sudah kita ketahui dari banyak sumber sejarah, pada abad ke 13 sampai abad 18 merupakan masa kekuasaan Khilafah Turki Utsmani (Ottoman) setelah Kekuasaan Islam jatuh di Baghdad dan Andalus. Sejak berhasil menaklukkan Constantinopel, Ottoman merubah daerah tersebut menjadi Islambul (Istambul), dan semenjak itu pula Turki melakukan ekspansi besar-besaran untuk menaklukan beberapa wilayah di Eropa dan Asia Tengah. Dinasti ini dikenali sebagai Osmani atau Utsmaniyyah oleh sebahagian pihak. Pada awalnya pemimpin-pemimpin imperium ini menggelar diri mereka sebagai Bey. Oleh itu mereka mereka mengakui kesetiaan kepada Kerajaan Seljuk. Murad Iialah pemerintah pertama yang menggunakan gelaran "sultan", dan sejak mulai tahun 1517, sultan-sultan Utsmaniyyah juga merupakan Khalifah umat Islam. Pada abad ke 16, Khilafah Utsmaniyahbersaing dengan bangsa-bangsa Eropa di Lautan Hindi (Nusantara), bahkan dalam catatan Aceh terdapat sepucuk surat yang dikirim oleh pemimpin Aceh Sultan Alauddin Riayat Shah Al Qahar kepada Sultan Turki. Meski tidak langsung terbalas, namun kemudian hari Sultan Turki mengirim armada lautnya bersama-sama dengan kelengkapan perang dan laskar ke Aceh dan Kenya untuk membantu pemerintah-pemerintah Muslim di sana, di samping mempertahankan perdagangan rempah dan budak.Pengiriman duta ke Istambul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Shah, dalam suratnya kepada Pemimpin Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai satu-satunya Khalifah Islam yang diakui di dunia saat itu. (Lihat : Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh)
Menyoal lambang, emblem dan bendera Kerajaan Bima tentu saja tidak bisa dengan melihat tradisi internal dan sejarah singkat Kesultanan Bima. Perlu ada penelusuran secara mendalam tentang pola-pola hubungan Bima dengan kerajaan lain, bahkan ada keberanian kita membongkar kecenderungan semiotik masyarakat Bima dalam menggunakan simbol-simbol kekuasaan. Karena dalam hal penggunaan simbol-simbol, hampir seluruh kebudayaan di dunia ini saling mempengaruhi. Termasuk Bima yang pada abad ke 16 sudah sangat diperhitungkan dalam percaturan ekonomi global. Catatan Tome Pires menggambarkan Bima sebagai daerah penghasil dan pengekspor, dan beberapa komoditi serta hasil buminya sudah dipasarkan sampai ke Malaka dan Siam (Thailand). Dari sini saja kita sudah bisa menduga-duga bahwa komunikasi-komunikasi bilateral Bima sudah terbangun dengan baik, meski awalnya hanya berkisar pada ranah ekonomi-perdagangan.
Dalam catatan Bo’ Sangaji Kai, lambang dan bendera kerajaan Bima justru baru diketahui pada sekitar tahun 1773 setelah disahkan penggunaannya oleh Sultan Abdul Hamid. Dalam masa pemerintahan sebelumnya, simbol dan lambang tersebut tidak disebutkan. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid sendiri, pola hubungan diplomatik Bima dengan Belanda sudah mendapatkan bentuknya. Bahkan dari hasil pembacaan transkrip sepuluh surat Sultan kepada Belanda oleh Dr. Suryadi dari Universitas Leiden, kerajaan Bima sepertinya sudah sangat maju dalam hal komunikasi politik, terbukti dengan corak tulisan arab melayu dan penggunaan istilah-istilah arab, bahkan Sultan Abdul Hamid memiliki stempel resmi kerajaan dalam dua bahasa, yaitu Belanda dan Arab Melayu.
Saya kemudian menduga, bahwa lambang kerajaan tersebut mulai digunakan oleh pemerintahan Sultan Abdul Hamid dengan tujuan untuk menegaskan identitas kerajaan Bima dalam menghadapi tekanan-tekanan politik dan ekonomi yang gencar dilakukan Belanda. Ini bukan berarti jika jauh hari sebelumnya Kerajaan Bima tidak mengenal simbol dan lambang-lambang kebesaran sendiri. Penggunaan lambang Garuda Berkepala Dua cenderung ditafsirkan pada dua kebudayaan, yakni pertama kebudayaan Hindu,yang diwakili eksistensinya melalui kehadiran burung Garuda. Dan kedua kebudayaan Zion, yang diwakili keberadaaannya melalui keserupaan bentuk tersebut dengan kebanyakan simbol dalam budaya Zion dan Romawi.
Lambang Garuda Kepala Dua sebenarnya bukan muncul begitu saja dalam masa pemerintahan Abdul Hamid. Harus kita akui pula, bahwa pada saat dikukuhkan sebagai Sultan, Abdul Hamid sebenarnya masih berusia belia yakni sebelas tahun. Praktis kekuasaan dikendalikan oleh majelis hadat di bawah komando Raja Bicara. Beberapa puluh tahun sebelumnya, kemelut juga melanda kerajaan Bima ketika nenek dari Abdul Hamid yakni Komalat Syah dipermasalahkan kepemimpinannya oleh Belanda, sampai harus dibuang ke Ceylon. Situasi carut marut tersebut sudah dilatari oleh pengunduran diri Sultan Alauddin yang memilih untuk mengasingkan diri ke Daha (Dompu). Sepertinya ada masalah besar yang terjadi di internal kerajaan Bima kala itu, dan kegamangan itu memakan waktu yang cukup lama sehingga muncul ketidakpastian pemerintahan. Pada masa-masa inilah saya menduga interaksi dari Bima dengan pihak-pihak Malaka mulai terbuka, karena beberapa utusan dari kerajaan Bima dikirim ke sana untuk meminta perlindungan atas campur tangan Belanda yang sudah mengacaukan iklim pemerintahan kerajaan Bima.
Dalam masa peralihan dari Sultan Alauddin ke Komalat Syah inilah lambang Garuda Kepala Dua ini mulai diperkenalkan dalam kerajaan Bima. Lambang tersebut merupakan lambang kebesaran beberapa bangsa Balkan yang ditaklukkan oleh Khilafah Utsmaniyyah, setelah dikuasai oleh Turki, kawasan Balkan kemudian menjadi kawasan Muslim terbesar di Asia Tengah. Coba perhatikan bendera Kosovo dan Albania, sepintas gambar tersebut persis dengan simbol garuda kepala dua yang digunakan oleh kerajaan Bima, dengan warna latar merah dan garuda berwarna hitam. Lambang ini sepertinya dibawa dan diperkenalkan oleh para delegasi diplomatik Bima yang baru kembali dari Malaka (Kesultanan Aceh). Pertanyaannya ialah; Kenapa Kerajaan Bima tidak menggunakan lambang bulan sabit seperti yang digunakan oleh Kerajaan Aceh? Karena secara faktual Sultan Aceh memang mengakui bahwa Turki adalah satu-satunya Khilafah Islam di dunia, sehingga Aceh menegaskan dirinya berada di bawah kekuasaan Turki Utsmaniyyah secara langsung, bahkan menggunakan simbol bulan sabit untuk menyatakan bahwa Aceh adalah wilayah protektorat Turki. (Lihat : Coat of arms of Serbia and Montenegro dan The Emblem of Albania)
Pada masa Alauddin memerintah kerajaan Bima, peradaban ilmu pengetahuan di Bima sudah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa, ada banyak kelompok cendekiawan yang menuntut ilmu sampai ke Mekkah. Interaksi sebahagian masyarakat Bima sudah mendunia, terbukti adanya sebuah karya besar yang terkenal di Nusantara yaitu Mushaf Al Qur’an tulisan tangan yang dinamai La Lino. Sehingga tidak mustahil, berita-berita menyangkut perubahan mainstream politik global sudah banyak diketahui oleh sebahagian orang Bima yang merantau, termasuklah pula kehadiran simbol ini ke dalam kerajaan Bima. Kalaupun kemudian kerajaan Bima tidak mengikuti simbol Aceh dan Ottoman, itu semata karena alasan sosio-historis dan kebudayaan awal yang dianut oleh kerajaan Bima. Kerajaan Bima merasa sebagai sebuah wilayah kesultanan yang berdaulat dan ingin menunjukkan identitasnya sendiri, meskipun pada saat yang sama Kesultanan Bima mulai membangun hubungan diplomatik dengan Khilafah Utsmani melalui patronase Kesultanan Aceh.

Pengaruh Masonik Hindia Belanda
Pengesahan simbol ini pada masa Sultan Abdul Hamid juga tidak bisa dilepas dari intervensi Belanda. Karena bagaimana pun juga, Belanda berkepentingan untuk mempertahankan kerajaan Bima sebagai pusat penghasil rempah-rempahnya, Belanda melihat prospek hubungan baik dengan Bima adalah sebuah keniscayaan, karena ini adalah kepentingan politik jangka panjang bagi mereka untuk memiliki daerah protektorat yang taat. Belanda tidak menginginkan kerajaan Bima menjadi sebuah poros tengah kekuatan Islam di Nusantara, sehingga pada berbagai hal kebijakan diplomatik Bima dengan Malaka selalu dibatasi, Belanda benar-benar berhasil menguasai alur politik kekuasaan di Bima. Belanda tidak punya pilihan lain, karena Malaka sangat susah untuk ditembus, Maluku (Tidore dan ternate) pun demikian. Hanya dua wilayah yang sangat memungkinkan bagi Belanda untuk membangun pusat perdagangannya, yakni Gowa dan Pulau Sumbawa, sehingga dalam hal pembangunan infrastruktur pun Belanda-lah yang kemudian memprakarsainya. Buktinya, pada abad ke 18 Belanda menjadikan Istana Bima sebagai sebuah loji atau rumah pertemuan untuk menggelar ritual masonik (fakta lukisan A. J. Bik tahun 1821 yang menyebut Istana kita sebagai sebuah Loji).
Gagasan Tarekat, seperti telah kami kemukakan, merupakan bagian hakiki dari Tarekat Mason Bebas, namun apa artinya itu bagi penyebaran Tarekat Mason Bebas di antara orang Indonesia? Pembedaan oleh karena asal-usul tidak boleh memainkan peranan, bahkan ditolak, dan pembicara pada pesta satu abad loge Batavia “De Ster in het Oosten (Bintang Timur)” menyatakan pada tahun 1869: “Asimilasi berbagai ras di Timur, [yaitu Batavia, St.], supaya semua menjadi saudara, adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh para Mason Bebas.”
Menurut A.S. Carpentier Alting sudah sejak sebelum 1756, “sudah ada banyak Mason Bebas di Hindia Timur (Indonesia), sedangkan loge tertua di bawahkekuasaan seorang Suhu Agung Belanda di Asia adalah loge Salomon”. Loge itu didirikan di Tandalga, Benggala.  Atas dasar keputusan-keputusan yang diambil Loge Agung di Belanda pada tahun 1759, ternyata bahwa Surat Konstitusi memang benar-benar telah diberikan. Berkat Hageman, menjadi jelas bahwa berdirinya loge “Salomon” berhubungan dengan ekspedisi militer yang padatahun 1759 dikirim dari Batavia untuk melindungi milik Kompeni di pesisir Benggala dari pihak Inggris. Gugus perang Belanda waktu itu terdiri dari tujuh ratus orang dan di antara mereka terdapat nakhoda Jacobus Larwood van Scheevikhaven. Seperti telah dikemukakan, menurut keputusan Loge Agung pada akhir tahun sebagai anggota loge Amsterdam“Concordia Vincit Animos” ia telah diangkat menjadi “Utusan” atau “Suhu Agung Provinsi atas Hindia Belanda”. Loji atau Rumah Pertemuan pertama kalinya di dirikan di Batavia saat jabatan gubernur jenderal dipegang oleh Petrus Albertus van Der Parra (1761-1775). Di masa kepemimpinannya, ia digambarkan sebagai seorang tokoh yang tidak begitu terpuji karena dinilai bertindak sebagai seorang penguasa mutlak. (download baca : TAREKAT MASON BEBAS DI HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT INDONESIA 1764-1962)
Masa-masa kejayaan tarekat Masonik (Vrijmetselarij) Hindia Timur ini sejalan dengan masa pemerintahan Abdul Hamid, dan tidak mustahil, pengesahan bendera kerajaan Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam merupakan salah satu bentuk tekanan sekaligus infiltrasi tokoh-tokoh pemimpin Belanda di Makassar yang berlatar belakang sebagai pengikut Tarekat Masonik, secara bersamaan pula disepakati oleh sebahagian besar pemangku adat dalam Istana. Tokoh-tokoh masonik melihat prospek pengembangan Bima sebagai daerah berbasis spiritual yang telah teruji melintasi dua zaman peradaban secara gemilang; ketika menganut Sinkretis Hindu-Buddha, dan zaman Islam. Inilah kemudian kepentingan misionaris Belanda untuk menyusupkan perkumpulan-perkumpulan masonik dalam kerajaan Bima. Pada masa jayanya “Tarekat Kaum Mason Bebas di bawah Timur Agung Nederland” di Hindia Belanda mempunyai sekitar 1.500 anggota, terbagi dalam 25 bentara di seluruh Nusantara. Hanya saja kemudian, perkumpulan masonik Belanda gagal menuntaskan proyek tersebut karena kuatnya kebersamaan dalam kesultanan Bima, sehingga meskipun simbol tersebut tetap digunakan namun sudah ditafsirkan arti dan maknanya dalam pendekatan Islam bercorak tasawwuf. Lambang Garuda Kepala Dua pun dalam banyak sumber dikenal sebagaiThe Coat Of Arms Of Bolsward (Bolsward adalah nama sebuah perkampungan di Netherland, yang dikenal memiliki banyak sekali sekolah-sekolah dan perkumpulan pelajar)
Seusai perang Ngali tahun 1908, Kerajaan Bima dinyatakan sebagian bagian dari Hindia Belanda,bendera kerajaan dilarang untuk dikibarkan, itu mungkin demi menyeragamkan simbol resmi Kerajaan Belanda merah putih biru. Sejak itu hanya diperkenankan digunakan sebagai lambang biasa (logo),dandipasang pada mobil sultan dikala menjemput kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Jong yang melawat ke Bima tahun 1934. Pada tanggal 5 April 1942 bendera Kerajaan bima dikibarkan kembali setelah pemerintahan dan rakyat Bima dibawah pimpinan Sultan Muhammad Salahuddin merebut kekuasaan dari tangan Hindia Belanda di Bima, namun kemudian dilarang lagi oleh pemerintah Bala tentara Jepang pada masa pendudukannya di Bima pada bulan Juli tahun 1942. Dan kini lambang itu sudah bertutur kembali setelah 60 tahun hanya menjadi saksi bisu sebuah kilasan sejarah, namun tidak dalam bentuknya sebagai lambang kedaulatan melainkan dinisbatkan sebagai logo resmi pemerintahan Kota Bima yang dibentuk pada tahun 2002.
(Sumber:  http://fitua.blogspot.com/2011/11/asal-usul-lambang-kesultanan-bima.html )

Read more ...