Telunjuk mu adalah kekuasaan mu

Telunjuk mu adalah kekuasaan mu
kekuatan yang dimiliki pemimpin adalah telunjuknya.

Minggu, 26 Juli 2015

Asal Usul Lambang Kesultanan Bima





Utamart | 21.54 | 0 Comments


Asal Usul Lambang Kesultanan Bima


Lambang atau bendera menjadi satu dari sekian banyak identitaspenting bagi sebuah bangsa. Bahkan di era modern seperti sekarang ini, bendera kerap digunakan sebagai simbol pemersatu untuk komunitas-komunitas hobi; sebutlah misalnya bendera klub sepakbola, bendera perkumpulan fans suatu grup musik, bahkan lambang resmi organisasi-organisasi sosial maupun politik. Mungkin bukanlah suatu hal yang menarik ketika mengupas eksistensi historis bendera Bima.

Tetapi sebagai sebuah entitas kebudayaan nusantara, rasanya rugi juga kalau melewatkan keberadaan simbol tersebut dalam perspektif kebimaan kita hari ini. Dalam buku Sejarah Bima Dana Mbojo karangan Alm. H. Abdullah Tajib, BA, bendera atau lambang Kerajaan Bima pertama kali dikenal setelah disahkan oleh ketetapan majelis Paruga Suba dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam pada hari Selasa tanggal 22 Dzulkaidah 1203 H bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1789. Walaupun pada tahun 1886 Kesultanan Bima telah menanda-tanganiLange Verklaring, bendera tersebut tetap dikibarkan sebagai pertanda bahwa kedaulatan Kerajaan Bima tetap diakui.
Sebagai sebuah kerajaan bercorak dan berideologi Islam, maka keberadaan kesultanan Bima pada abad ke 17 sampai pada abad 19 tidaklah harus dilihat sebagai sebuah negeri yang berdiri sendiri. Tiga abad sebelum Abdul Kahir menjadi Sultan, kerajaan-kerajaan Islam sudah berdiri dan maju pesat di wilayah semenanjung Malaka, dua abad sebelumnya juga Islam sudah berkembang di Demak dan Jawa Timur, bahkan satu abad sebelumnya sebuah kerajaan Islam sudah berdiri di Maluku. Tentu saja, eksistensi Kesultanan Bima tidak bisa dipisahkan dari percaturan politik Islam di Nusantara, yang nantinya dapat dirangkai dengan hubungan-hubungan diplomatik dengan kekuasaan Islam global. Saya menduga ada dua latar belakang penggunaan Garuda berkepala Dua ini sebagai simbol resmi Kerajaan Bima.

Pengaruh Khilafah Utsmaniyyah Turki
Seperti yang sudah kita ketahui dari banyak sumber sejarah, pada abad ke 13 sampai abad 18 merupakan masa kekuasaan Khilafah Turki Utsmani (Ottoman) setelah Kekuasaan Islam jatuh di Baghdad dan Andalus. Sejak berhasil menaklukkan Constantinopel, Ottoman merubah daerah tersebut menjadi Islambul (Istambul), dan semenjak itu pula Turki melakukan ekspansi besar-besaran untuk menaklukan beberapa wilayah di Eropa dan Asia Tengah. Dinasti ini dikenali sebagai Osmani atau Utsmaniyyah oleh sebahagian pihak. Pada awalnya pemimpin-pemimpin imperium ini menggelar diri mereka sebagai Bey. Oleh itu mereka mereka mengakui kesetiaan kepada Kerajaan Seljuk. Murad Iialah pemerintah pertama yang menggunakan gelaran "sultan", dan sejak mulai tahun 1517, sultan-sultan Utsmaniyyah juga merupakan Khalifah umat Islam. Pada abad ke 16, Khilafah Utsmaniyahbersaing dengan bangsa-bangsa Eropa di Lautan Hindi (Nusantara), bahkan dalam catatan Aceh terdapat sepucuk surat yang dikirim oleh pemimpin Aceh Sultan Alauddin Riayat Shah Al Qahar kepada Sultan Turki. Meski tidak langsung terbalas, namun kemudian hari Sultan Turki mengirim armada lautnya bersama-sama dengan kelengkapan perang dan laskar ke Aceh dan Kenya untuk membantu pemerintah-pemerintah Muslim di sana, di samping mempertahankan perdagangan rempah dan budak.Pengiriman duta ke Istambul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Shah, dalam suratnya kepada Pemimpin Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai satu-satunya Khalifah Islam yang diakui di dunia saat itu. (Lihat : Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh)
Menyoal lambang, emblem dan bendera Kerajaan Bima tentu saja tidak bisa dengan melihat tradisi internal dan sejarah singkat Kesultanan Bima. Perlu ada penelusuran secara mendalam tentang pola-pola hubungan Bima dengan kerajaan lain, bahkan ada keberanian kita membongkar kecenderungan semiotik masyarakat Bima dalam menggunakan simbol-simbol kekuasaan. Karena dalam hal penggunaan simbol-simbol, hampir seluruh kebudayaan di dunia ini saling mempengaruhi. Termasuk Bima yang pada abad ke 16 sudah sangat diperhitungkan dalam percaturan ekonomi global. Catatan Tome Pires menggambarkan Bima sebagai daerah penghasil dan pengekspor, dan beberapa komoditi serta hasil buminya sudah dipasarkan sampai ke Malaka dan Siam (Thailand). Dari sini saja kita sudah bisa menduga-duga bahwa komunikasi-komunikasi bilateral Bima sudah terbangun dengan baik, meski awalnya hanya berkisar pada ranah ekonomi-perdagangan.
Dalam catatan Bo’ Sangaji Kai, lambang dan bendera kerajaan Bima justru baru diketahui pada sekitar tahun 1773 setelah disahkan penggunaannya oleh Sultan Abdul Hamid. Dalam masa pemerintahan sebelumnya, simbol dan lambang tersebut tidak disebutkan. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid sendiri, pola hubungan diplomatik Bima dengan Belanda sudah mendapatkan bentuknya. Bahkan dari hasil pembacaan transkrip sepuluh surat Sultan kepada Belanda oleh Dr. Suryadi dari Universitas Leiden, kerajaan Bima sepertinya sudah sangat maju dalam hal komunikasi politik, terbukti dengan corak tulisan arab melayu dan penggunaan istilah-istilah arab, bahkan Sultan Abdul Hamid memiliki stempel resmi kerajaan dalam dua bahasa, yaitu Belanda dan Arab Melayu.
Saya kemudian menduga, bahwa lambang kerajaan tersebut mulai digunakan oleh pemerintahan Sultan Abdul Hamid dengan tujuan untuk menegaskan identitas kerajaan Bima dalam menghadapi tekanan-tekanan politik dan ekonomi yang gencar dilakukan Belanda. Ini bukan berarti jika jauh hari sebelumnya Kerajaan Bima tidak mengenal simbol dan lambang-lambang kebesaran sendiri. Penggunaan lambang Garuda Berkepala Dua cenderung ditafsirkan pada dua kebudayaan, yakni pertama kebudayaan Hindu,yang diwakili eksistensinya melalui kehadiran burung Garuda. Dan kedua kebudayaan Zion, yang diwakili keberadaaannya melalui keserupaan bentuk tersebut dengan kebanyakan simbol dalam budaya Zion dan Romawi.
Lambang Garuda Kepala Dua sebenarnya bukan muncul begitu saja dalam masa pemerintahan Abdul Hamid. Harus kita akui pula, bahwa pada saat dikukuhkan sebagai Sultan, Abdul Hamid sebenarnya masih berusia belia yakni sebelas tahun. Praktis kekuasaan dikendalikan oleh majelis hadat di bawah komando Raja Bicara. Beberapa puluh tahun sebelumnya, kemelut juga melanda kerajaan Bima ketika nenek dari Abdul Hamid yakni Komalat Syah dipermasalahkan kepemimpinannya oleh Belanda, sampai harus dibuang ke Ceylon. Situasi carut marut tersebut sudah dilatari oleh pengunduran diri Sultan Alauddin yang memilih untuk mengasingkan diri ke Daha (Dompu). Sepertinya ada masalah besar yang terjadi di internal kerajaan Bima kala itu, dan kegamangan itu memakan waktu yang cukup lama sehingga muncul ketidakpastian pemerintahan. Pada masa-masa inilah saya menduga interaksi dari Bima dengan pihak-pihak Malaka mulai terbuka, karena beberapa utusan dari kerajaan Bima dikirim ke sana untuk meminta perlindungan atas campur tangan Belanda yang sudah mengacaukan iklim pemerintahan kerajaan Bima.
Dalam masa peralihan dari Sultan Alauddin ke Komalat Syah inilah lambang Garuda Kepala Dua ini mulai diperkenalkan dalam kerajaan Bima. Lambang tersebut merupakan lambang kebesaran beberapa bangsa Balkan yang ditaklukkan oleh Khilafah Utsmaniyyah, setelah dikuasai oleh Turki, kawasan Balkan kemudian menjadi kawasan Muslim terbesar di Asia Tengah. Coba perhatikan bendera Kosovo dan Albania, sepintas gambar tersebut persis dengan simbol garuda kepala dua yang digunakan oleh kerajaan Bima, dengan warna latar merah dan garuda berwarna hitam. Lambang ini sepertinya dibawa dan diperkenalkan oleh para delegasi diplomatik Bima yang baru kembali dari Malaka (Kesultanan Aceh). Pertanyaannya ialah; Kenapa Kerajaan Bima tidak menggunakan lambang bulan sabit seperti yang digunakan oleh Kerajaan Aceh? Karena secara faktual Sultan Aceh memang mengakui bahwa Turki adalah satu-satunya Khilafah Islam di dunia, sehingga Aceh menegaskan dirinya berada di bawah kekuasaan Turki Utsmaniyyah secara langsung, bahkan menggunakan simbol bulan sabit untuk menyatakan bahwa Aceh adalah wilayah protektorat Turki. (Lihat : Coat of arms of Serbia and Montenegro dan The Emblem of Albania)
Pada masa Alauddin memerintah kerajaan Bima, peradaban ilmu pengetahuan di Bima sudah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa, ada banyak kelompok cendekiawan yang menuntut ilmu sampai ke Mekkah. Interaksi sebahagian masyarakat Bima sudah mendunia, terbukti adanya sebuah karya besar yang terkenal di Nusantara yaitu Mushaf Al Qur’an tulisan tangan yang dinamai La Lino. Sehingga tidak mustahil, berita-berita menyangkut perubahan mainstream politik global sudah banyak diketahui oleh sebahagian orang Bima yang merantau, termasuklah pula kehadiran simbol ini ke dalam kerajaan Bima. Kalaupun kemudian kerajaan Bima tidak mengikuti simbol Aceh dan Ottoman, itu semata karena alasan sosio-historis dan kebudayaan awal yang dianut oleh kerajaan Bima. Kerajaan Bima merasa sebagai sebuah wilayah kesultanan yang berdaulat dan ingin menunjukkan identitasnya sendiri, meskipun pada saat yang sama Kesultanan Bima mulai membangun hubungan diplomatik dengan Khilafah Utsmani melalui patronase Kesultanan Aceh.

Pengaruh Masonik Hindia Belanda
Pengesahan simbol ini pada masa Sultan Abdul Hamid juga tidak bisa dilepas dari intervensi Belanda. Karena bagaimana pun juga, Belanda berkepentingan untuk mempertahankan kerajaan Bima sebagai pusat penghasil rempah-rempahnya, Belanda melihat prospek hubungan baik dengan Bima adalah sebuah keniscayaan, karena ini adalah kepentingan politik jangka panjang bagi mereka untuk memiliki daerah protektorat yang taat. Belanda tidak menginginkan kerajaan Bima menjadi sebuah poros tengah kekuatan Islam di Nusantara, sehingga pada berbagai hal kebijakan diplomatik Bima dengan Malaka selalu dibatasi, Belanda benar-benar berhasil menguasai alur politik kekuasaan di Bima. Belanda tidak punya pilihan lain, karena Malaka sangat susah untuk ditembus, Maluku (Tidore dan ternate) pun demikian. Hanya dua wilayah yang sangat memungkinkan bagi Belanda untuk membangun pusat perdagangannya, yakni Gowa dan Pulau Sumbawa, sehingga dalam hal pembangunan infrastruktur pun Belanda-lah yang kemudian memprakarsainya. Buktinya, pada abad ke 18 Belanda menjadikan Istana Bima sebagai sebuah loji atau rumah pertemuan untuk menggelar ritual masonik (fakta lukisan A. J. Bik tahun 1821 yang menyebut Istana kita sebagai sebuah Loji).
Gagasan Tarekat, seperti telah kami kemukakan, merupakan bagian hakiki dari Tarekat Mason Bebas, namun apa artinya itu bagi penyebaran Tarekat Mason Bebas di antara orang Indonesia? Pembedaan oleh karena asal-usul tidak boleh memainkan peranan, bahkan ditolak, dan pembicara pada pesta satu abad loge Batavia “De Ster in het Oosten (Bintang Timur)” menyatakan pada tahun 1869: “Asimilasi berbagai ras di Timur, [yaitu Batavia, St.], supaya semua menjadi saudara, adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh para Mason Bebas.”
Menurut A.S. Carpentier Alting sudah sejak sebelum 1756, “sudah ada banyak Mason Bebas di Hindia Timur (Indonesia), sedangkan loge tertua di bawahkekuasaan seorang Suhu Agung Belanda di Asia adalah loge Salomon”. Loge itu didirikan di Tandalga, Benggala.  Atas dasar keputusan-keputusan yang diambil Loge Agung di Belanda pada tahun 1759, ternyata bahwa Surat Konstitusi memang benar-benar telah diberikan. Berkat Hageman, menjadi jelas bahwa berdirinya loge “Salomon” berhubungan dengan ekspedisi militer yang padatahun 1759 dikirim dari Batavia untuk melindungi milik Kompeni di pesisir Benggala dari pihak Inggris. Gugus perang Belanda waktu itu terdiri dari tujuh ratus orang dan di antara mereka terdapat nakhoda Jacobus Larwood van Scheevikhaven. Seperti telah dikemukakan, menurut keputusan Loge Agung pada akhir tahun sebagai anggota loge Amsterdam“Concordia Vincit Animos” ia telah diangkat menjadi “Utusan” atau “Suhu Agung Provinsi atas Hindia Belanda”. Loji atau Rumah Pertemuan pertama kalinya di dirikan di Batavia saat jabatan gubernur jenderal dipegang oleh Petrus Albertus van Der Parra (1761-1775). Di masa kepemimpinannya, ia digambarkan sebagai seorang tokoh yang tidak begitu terpuji karena dinilai bertindak sebagai seorang penguasa mutlak. (download baca : TAREKAT MASON BEBAS DI HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT INDONESIA 1764-1962)
Masa-masa kejayaan tarekat Masonik (Vrijmetselarij) Hindia Timur ini sejalan dengan masa pemerintahan Abdul Hamid, dan tidak mustahil, pengesahan bendera kerajaan Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam merupakan salah satu bentuk tekanan sekaligus infiltrasi tokoh-tokoh pemimpin Belanda di Makassar yang berlatar belakang sebagai pengikut Tarekat Masonik, secara bersamaan pula disepakati oleh sebahagian besar pemangku adat dalam Istana. Tokoh-tokoh masonik melihat prospek pengembangan Bima sebagai daerah berbasis spiritual yang telah teruji melintasi dua zaman peradaban secara gemilang; ketika menganut Sinkretis Hindu-Buddha, dan zaman Islam. Inilah kemudian kepentingan misionaris Belanda untuk menyusupkan perkumpulan-perkumpulan masonik dalam kerajaan Bima. Pada masa jayanya “Tarekat Kaum Mason Bebas di bawah Timur Agung Nederland” di Hindia Belanda mempunyai sekitar 1.500 anggota, terbagi dalam 25 bentara di seluruh Nusantara. Hanya saja kemudian, perkumpulan masonik Belanda gagal menuntaskan proyek tersebut karena kuatnya kebersamaan dalam kesultanan Bima, sehingga meskipun simbol tersebut tetap digunakan namun sudah ditafsirkan arti dan maknanya dalam pendekatan Islam bercorak tasawwuf. Lambang Garuda Kepala Dua pun dalam banyak sumber dikenal sebagaiThe Coat Of Arms Of Bolsward (Bolsward adalah nama sebuah perkampungan di Netherland, yang dikenal memiliki banyak sekali sekolah-sekolah dan perkumpulan pelajar)
Seusai perang Ngali tahun 1908, Kerajaan Bima dinyatakan sebagian bagian dari Hindia Belanda,bendera kerajaan dilarang untuk dikibarkan, itu mungkin demi menyeragamkan simbol resmi Kerajaan Belanda merah putih biru. Sejak itu hanya diperkenankan digunakan sebagai lambang biasa (logo),dandipasang pada mobil sultan dikala menjemput kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Jong yang melawat ke Bima tahun 1934. Pada tanggal 5 April 1942 bendera Kerajaan bima dikibarkan kembali setelah pemerintahan dan rakyat Bima dibawah pimpinan Sultan Muhammad Salahuddin merebut kekuasaan dari tangan Hindia Belanda di Bima, namun kemudian dilarang lagi oleh pemerintah Bala tentara Jepang pada masa pendudukannya di Bima pada bulan Juli tahun 1942. Dan kini lambang itu sudah bertutur kembali setelah 60 tahun hanya menjadi saksi bisu sebuah kilasan sejarah, namun tidak dalam bentuknya sebagai lambang kedaulatan melainkan dinisbatkan sebagai logo resmi pemerintahan Kota Bima yang dibentuk pada tahun 2002.
(Sumber:  http://fitua.blogspot.com/2011/11/asal-usul-lambang-kesultanan-bima.html )

Read more ...

Sejarah Masuknya Islam Di Bima





Utamart | 16.57 | 1 Comment


Keadaan alam Bima memang sangat strategis bagi perkembangan politik agama dan perdagangan. Wilayah bagian  utara berbatasan langsung dengan laut flores , sebagai urat nadi perniagaan Nusantara sejak abad 14 M. Terletak di tengah rangkaian kepulauan nusantara dan memiliki pelabuhan alam yang terlindung dari serangan gelombang dan angin musim barat. Hasil alamnya cukup beragam dan menjadi bahan ekspor yang sangat laris pada zamannya. Inilah yang merupakan salah satu sebab bima bisa tampil sebagai negara maritim tersohor sejak abad 15 sampai pertengahan abad 20 M.

Sebagai negara maritim yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir dari berbagai penjuru negeri, seharusnya Bima lebih awal menerima pengaruh islam. Mengingat abad X M, saudagar-saudagar Islam Arab sudah banyak yang berkunjung ke Maluku (Ternate dan Tidore ) untuk membeli rempah-rempah. Tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan berbagai sumber tertulis yang untuk sementara dapat dijadikan pegangan, masyarakat pesisir Bima baru mengenal islam sekitar pertengahan abad XVI M, yang dibawa oleh para Mubaliq dan pedagang dari kesultanan Demak, kemudian dilanjutkan oleh mubaliq dan pedagang kesultanan Ternate, pada akhir abad XVI M.

Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.

Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkanl  dua tahap masuknya islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang dimiliki,  ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate.

  


Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.

Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa “ pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri  yang pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. “ Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata “ Menundukkan “ dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk memeluk Islam.  Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada tahun  1640 M.

Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara. Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate. Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul  Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara.

Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-1583), usaha penyiaran  Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima.  Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan  yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.

Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat  situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi.  Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
 
( Putera Mahkota La Ka’I )
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.

Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.

Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu  yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.(Sumber : Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo M. Hilir Ismail,  Upacara Adat Hanta UA PUA  Alan Malingi)



Read more ...

Sabtu, 25 Juli 2015

Mengenal lebih dalam sejarah kebudayaan Bima





Utamart | 20.14 | 12 Comments

Read more ...

Potongan Surat Kabar Bendera Islam tentang Komite Khilafat di Cianjur





Utamart | 19.00 | 1 Comment

 Potongan Surat Kabar Bendera Islam tentang Komite Khilafat di Cianjur
Peristiwa penghapusan Turki Usmani oleh Mutafa Kemal yang disusul oleh seruan ulama al-Azhar untuk menghadiri Kongres Kairo yang akan memilih khalifah baru mendapat antusiasme yang sangat besar dari umat Islam di Indonesia. Pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Selain dihadiri oleh para pemimpin nasional dan lokal dari ketiga organisasi tersebut, pertemuan ini juga dihadiri oleh banyak ulama besar, baik dari kalangan orang Arab maupun orang Jawa. Dalam pertemuan ini terjadi diskusi yang panjang tentang khilafah dan seruan ulama al-Azhar tersebut.
Dalam sejarah Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan khusus membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Disepakati dalam pertemuan ini bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan penting mengirim delegasi Indonesia ke Kongres Kairo. Hasil lain dalam pertemuan ini adalah kesepakatan para ulama dan tokoh pergerakan Islam untuk membentuk Komite Khilafah sebagai wadah bagi mereka dalam memperjuangakan khilafah.
Komite Khilafah bertugas menetapkan mandat yang akan dibawa oleh delegasi Indonesia. Mandat tersebut berisi sebuah konsep khilafah yang akan ditegakan. Oleh karena itu ternyata perjuangan mereka saat itu telah berhasil merumuskan sebuah konsep baru tentang khilafah.
Pada 24-27 Desember 1924 komite yang diketuai Wondo Soedirjo dengan wakil K.H. Abdul Wahab ini mengadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres yang dihadiri oleh ribuan umat Islam termasuk ulama dan tokoh pergerakan ini menyetujui mandat tersebut. Dengan seiya sekata para peserta kongres menyatakan wajib terlibat dalam perjuangan khilafah.
Selain itu kongres tersebut juga menyepakati untuk mendirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu dibeberapa kota di Indonesia didirikan cabang-cabang Komite Khilafah. Jika kita telusuri sejarah lokal tentang Komite Khilafah, barangkali di kota tempat kita tinggal saat ini dapat ditemui jejak-jejak perjuangannya.
Komite cabang yang pernah didirikan antara lain adalah Komite Khilafah Yogyakarta, Komite Khilafah Pekalongan, Komite Khilafah Cirebon, Komite Khilafah Pasuruan, Komite Khilafah Bogor, Komite Khilafah Banjarmasin dan Komite Khilafah Cianjur. Hal ini menjadi bukti bahwa perjuangan khilafah mendapatkan apresiasi yang sangat besar di berbagai tempat di Indonesia.
Seperti yang pernah diberitakan oleh sebuah surat kabar Bendera Islam, pada 30 November 1924 di Cianjur telah diadakan sebuah rapat besar yang dihadiri oleh sekitar 3000 orang untuk membahas persoalan khilafah. Sesuatu yang sangat luar biasa, dalam konteks hari ini sekalipun, di kota Cianjur sebuah pertemuan yang membicarakan khilafah dapat dihadiri peserta sebanyak 3000 orang.
Oleh : Septian AW
http://jejakislam.net/?p=174
Read more ...

Diskursus Tentang Dasar Negara (Bagian II)





Utamart | 18.53 | 0 Comments

Membicarakan dasar negara sesungguhnya bukan hal yang tabu. Para bapak bangsa telah mencontohkannya, meski akhirnya diberangus tentara dan penguasa. Apakah kita ingin mencontoh mereka juga?

Pembicaraan tentang Dasar Negara kembali muncul pasca Pemilihan Umum 1955. Meski semula diperkirakan bakal mendapat suara terbanyak dalam pemilu pertama di Indonesia itu, partai Islam terkuat saat itu, Partai Masyumi, hanya menempati urutan ke dua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan meraih 20,9 persen suara, sementara Partai Nahdlatul Ulama yang telah keluar dari Masyumi tiga tahun sebelumnya, berada di peringkat ke tiga dengan perolehan 18,4 persen suara. Bila ditambah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang saat itu telah menjadi partai kecil dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti), jumlah total fraksi Islam hanya mencapai 42 persen. Namun, hanya dengan 42 persen itu pembicaraan tentang dasar negara dan konsep negara kembali marak di Dewan Konstituante.

Konstituante, yang berarti lembaga pembentuk undang-undang dasar dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Yang menarik, dalam pidato pembukaan itu, Sukarno sempat berpidato, yang memaparkan tentang sifat UUD 1945 yang hanya sementara:

“Kita bukan tidak memiliki Konstitusi, malah dengan konstitusi yang berlaku sekarang, kita sudah memiliki tiga konstitusi…. Tapi semua konstritusi [itu]… adalah bersifat sementara. Dan semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri.…” [i]

Memang, saat itu, ketika Konstituante dibentuk, Indonesia telah memiliki tiga konstitusi, yakni UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat 1949 dan UUD Sementara 1950. Karena itu, menurut Adnan Buyung Nasution, Presiden Soekarno kemudian melanjutkan pidatonya, “sesuai dengan makna kedaulatan rakyat, atau negara demokrasi, sekaranglah saatnya wahai wakil-wakil rakyat bangsa Indonesia yang terhormat, yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum (1955) itu, buatlah Konstitusi yang seindah-indahnya, yang memuat butir-butir mutiara hak azasi manusia yang seindah-indahnya.” [ii]

Pidato ini sesungguhnya sangat relevan dengan pendapat Soekarno yang tertuang dalam pidatonya sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agutus 1945:

“Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap.”[iii]

Rapat-rapat Konstituante berlangsung di gedung Sociteit de Concordia, sebuah gedung bercorak neo-kolonial nan megah di jantung kota Bandung. Beberapa bulan sebelumnya, di gedung perkumpulan “keserasian warga” (warga Hindia-Belanda golongan Europeanen) ini digelar Konferensi Asia-Afrika yang memufakati gerakan nonblok. Dari gedung itulah wakil-wakil rakyat Indonesia di Konstituante menggelar rapat, bermufakat tentang berbagai masalah kenegaraan dan berdebat sengit tentang dasar negara, konsep negara, implementasi kekuasaan dan pemerintahan serta bagaimana negara mengelola potensi alam dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Persidangan Yang Seru

Setelah dilantik Presiden Soekarno, Dewan Konstituante yang beranggotakan 514 orang itu langsung bersidang. Pada masa persidangan pertama, bulan November hingga Desember 1956 ini, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditetapkan sebagai Ketua, didampingi lima Wakil Ketua, masing-masing Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi, Fatchurrahman Kafrawi dari Nahdlatul Ulama (NU), Johannes Leimena dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Hidajat Ratu Aminah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Selanjutnya, dimulailah diskusi mengenai Peraturan Tata-tertib yang mencakup organisasi Konstituante dan cara-cara kerjanya. Peraturan Tata-tertib ini kemudian ditetapkan dalam sidang di semester pertama tahun 1957. Pada masa persidangan ke dua tahun 1957, ada dua masalah yang diperdebatkan di Konstituante, yakni pokok-pokok permasalahan yang akan dimasukkan ke dalam Undang-undang baru (20 Mei – 7 Juni) dan sistematika undang-undang dasar tersebut (11 – 13 Juni). Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok pembahasan yang dianggap paling penting, yakni soal Dasar Negara dan hak azasi manusia.

Sejak tanggal 11 November hingga 6 Desember 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara, yakni Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi, diajukan, diperdebatkan dan diperjuangkan oleh para pendukungnya. Perdebatan tentang Dasar Negara ini berlangsung seru dan sangat sengit. Maklumlah, pembicaraan tentang masalah ini sangat bersifat ideologis. Namun di luar sidang, hubungan antara anggota Konstituante yang berdebat sengit itu tetap akrab. Bahkan menurut almarhum Usep Ranawidjaja, meski berlangsung seru, para tokoh politik tetap menyampaikan materi di atas mimbar dengan sopan santun.

Usep mengisahkan pula ketika para singa panggung seperti Muhammad Natsir, Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Muhammad Isa Anshari dari Masyumi, Sutan Takdir Alisyahbana dari Partasi Sosialis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit dari Partai Komunis Indonesia, dan beberapa nama lainnya, berpidato dan beradu argumentasi. “Tidak ada saling tunjuk-tunjuk hidung, sabotase mikrofon, apalagi sampai menggebrak meja,” ujar bekas Sekretaris Jenderal Konstituante itu kepada Majalah Forum Keadilan, pada Juli 1995.[iv]  Perbedaan visi di antara mereka dan cara mereka mengungkapkan buah pikiran tampak begitu cerdas dan menarik.

Adnan Buyung Nasution juga menceritakan betapa para tokoh itu berdebat dengan kalimat yang indah, cerdas dan kaya metafora. Natsir, misalnya, dalam pidato 13 November 1957 mengatakan, “Singkap daun, tampak buah,” untuk menyindir PKI yang getol menyokong Pancasila meski punya pemikiran lain soal ideologi negara ini. Sementara itu, Buya HAMKA pada sidang April 1959 mengatakan bahwa “Membuat UUD bukan seperti pekerjaan menggosok-gosok lampu Aladin.” Saat itu sang ulama besar tengah mengritik keras Presiden Soekarno yang giat mengkampanyekan ide kembali ke UUD 1945 dengan menggelar rapat raksasa di berbagai tempat.

Antar pendukung Pancasila pun kadang terjadi perdebatan seru yang menarik. Misalnya ketika Konstituante membahas tentang lambang negara, Garuda Pancasila. Saat itu, Partai Murba —partai yang dibentuk mendiang Tan Malaka dan para kadernya— meminta agar burung garuda pada lambang negara menoleh ke kiri, bukan ke kanan seperti saat ini.  Untuk mempertahankan pendapat bahwa yang benar adalah burung garuda yang menoleh ke kanan, Sri Soemantri anggota Konstituante dari Partai Nasional Indonesia keluar-masuk museum dan perpustakaan untuk mendapatkan referensi soal mitos sang garuda. Karena tidak menemukan jawaban yang “ilmiah”, di arena sidang Soemantri akhirnya mengatakan, “Kalau menghadap ke kiri itu dalam bahasa Jawa artinya pakiwan atau jumbleng (WC). Masak, tempat yang jorok-jorok jadi lambang, kan ndak mungkin…” [v]

Bagi para pendukung Pancasila –termasuk kalangan Nasionalis, Sosialis maupun Komunis– para tokoh singa podium dari Partai-partai Islam yang mengajukan ide Dasar Negara Islam adalah lawan debat yang alot dan tangguh dalam ruangan sidang. Namun, di luar sidang, mereka adalah kawan nongkrong yang mengasyikkan. “Di dalam ruang mereka saling serang seperti mau perang saja. Tapi di luar sidang mereka asyik ngopi, ngobrol, dan tertawa bersama,” kata Buyung Nasution. Kerap terlihat Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, ngopi bareng dengan Ketua CC PKI DN Aidit, di Kafe Konstituante. Isa Anshari yang antikomunis akrab di luar sidang dengan Aidit. Mereka berdebat di ruang sidang seperti orang berkelahi, tapi begitu keluar, mereka tertawa-tawa seperti tidak terjadi apa-apa.

Masa persidangan pertama di tahun 1957 inilah yang bisa dikatakan sebagai Sidang Konstituante yang paling sengit, panas, namun juga bertele-tele dan melelahkan. Untunglah, Dewan Konstituante segera menyadari hal ini. Setelah berdialog terbuka, akhirnya pada 6 Desember 1957 sidang pleno memutuskan untuk sementara menangguhkan dulu pembahasan tentang masalah Dasar Negara. Panitia Persiapan Konstitusi kemudian diserahi tugas mempersiapkan rumusan yang akan memungkinkan terjadinya kompromi. Dewan Konstituante bertekad untuk menyelesaikan masalah yang besar lainnya, sebab dalam sebuah konstitusi, masalah dasar negara bukanlah masalah penting satu-satunya yang bisa dibahas. Masalah penting lainnya adalah tentang bagaimana mengatur dan merumuskan tentang struktur kekuasaan, pembatasan kekuasaan, hak asasi manusia, bentuk negara, hubungan pusat daerah, masalah keuangan, dan sebagainya.

Pada masa persidangan tahun 1958, Konstituante benar-benar mengerahkan tenaga dan fikiran untuk merumuskan berbagai rancangan pasal yang akan disusun dalam sebuah UUD baru pengganti UUD 1945 kelak. Bahkan untuk mengintensifkan pembahasan, pada tahun 1958 Konstituante merancang masa persidangan menjadi tiga kali dalam setahun. Saat itulah mereka bekerja keras mengejar waktu, mencurahkan tenaga, pikiran serta akal budi, serta menunjukkan kesungguhan mereka untuk membangun sebuah negara yang konstitusional.

Maka, pada tanggal 11 September 1958, ketika masa persidangan berakhir, Wilopo, sang Ketua Konstituante dengan bangga mengatakan bahwa setelah bekerja keras, Konstituante telah berhasil mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan ‘panen keputusan’ dan ia bergembira karena panen besar itu merupakan hasil dan benih-benih tanaman Konstituante sendiri. [vi] Maka pada akhir sidang tahun 1958, tujuh bulan sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, sesungguhnya Konstituante telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. [vii]

Di luar soal dasar negara, para perumus konstitusi itu juga telah menelurkan puluhan rancangan yang kelak akan ditetapkan menjadi pasal-pasal Undang-undang Dasar yang baru. Berbagai rancangan itu meliputi wilayah nasional, hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, ekonomi nasional, serta hukum dan badan peradilan. Semua rancangan –yang menurut Adnan Buyung Nasution sarat dengan pengakuan hak azasi manusia dan penegakan hukum dan keadilan itu– kini seolah terlupakan. Persoalan yang senantiasa diingat dan dijadikan momok adalah terjadinya perdebatan sengit tentang ideologi.[viii]

Karena materi pembahasan pasal-pasal telah hampir usai, maka pada masa persidangan pertama tahun 1959, Konstituante kembali membahas Mukadimah Undang-Undang Dasar. Di dalam pembahasan mukadimah inilah, muncul kembali perdebatan tentang Dasar Negara, apakah tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta akan disebut kembali, atau tidak. Malasalah lain yang dibahas adalah tentang sistem pemerintahan Indonesia, apakah akan mengambil sistem presidensiil ataukah parlementer.

Benturan tajam dan kemuskilan kompromi antara berbagai kekuatan politik saat itu, terutama dari faksi Islam dan faksi Komunis-Sosialis, membuat Presiden Soekarno yang ingin kembali berkuasa secara riil dan bukan hanya menjadi Kepala Negara, mulai kehabisan kesabaran. Apalagi saat itu negara sedang dilanda krisis ekonomi, sementara Presiden dilempari granat, dan beberapa daerah bergolak. Karena itu, Konstituante diminta menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.

Entah mengapa, Konstituante mau menari mengikuti gendang yang dipukul Presiden Soekarno yang terus mengajak untuk “lekas, lekas, dan lekas kembali ke UUD 1945″. Agenda Konstituante yang telah dirancang sebelumnya untuk memutuskan bentuk negara dan sistem pemerintahan, mukadimah UUD, dan asas negara akhirnya dikesampingkan. Kompromi yang tinggal 10 persen akhirnya tidak diupayakan lagi. Sementara itu, tujuh kata yang ditawarkan Presiden Soekarno sebagai langkah kompromi, dalam pidatonya “Respublica, Sekali Lagi Respublica” di depan Konstituante, ternyata tak meredakan benturan.

Perdebatan kembali memanas tatkala fraksi-fraksi Islam menyatakan bersedia kembali ke UUD 1945 tapi dengan amandemen. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah masuknya tujuh kata di Pembukaan dan di pasal 29. Tujuh kata itu, “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tercantum dalam Piagam Jakarta yang dicetuskan pada 22 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Semula, tujuh kata itu termasuk dalam pembukaan UUD. Namun, kata-kata ini kemudian dihapus ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Atas usulan fraksi-fraksi Islam, blok Pancasila yang terdiri atas fraksi-fraksi nasionalis, partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, serta golongan dan perorangan nonpartai kemudian merapatkan barisan. Mereka bertekad untuk menerima UUD 1945 tanpa perubahan apa pun. Musyawarah untuk mufakat tak tercapai sehingga dilakukan voting. Voting pertama pada hari Jumat, 29 Mei 1959, adalah untuk “setuju” atau “tidak” terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan oleh blok Islam. Hasilnya, dari 470 anggota yang hadir, 201 setuju dan 265 tidak, dengan empat anggota abstain.

Karena suara pro-amandemen tak mencapai persyaratan untuk diterima (2/3 suara dari yang hadir), dan bahkan kalah suara, usul amandemen pun batal. Namun, nasib serupa juga dialami oleh pendukung UUD 1945 tanpa perubahan. Selama tiga hari untuk tiga kali pemungutan suara, hasilnya ternyata tak cukup memenuhi kuorum 2/3 suara. Pada Sabtu, 30 Mei, hasil voting 269 setuju lawan 199 tidak setuju. Pada Senin, 1 Juni, 264 orang anggota setuju sementara 204 menolak. Sedangkan pada pemungutan suara hari Selasa, 2 Juni, 263 orang anggota setuju dan 203 anggota menolak. Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu akhirnya ditutup pada 2 Juni 1959 pukul 12.21.

Dalam sidang sehari sebelum reses (3 Juni 1959) itu, sebenarnya masih ada dua kesempatan lagi untuk voting. Namun dengan menimbang suasana voting sebelumnya yang telah menemui jalan buntu, Ketua Konstituante, Wilopo angkat bicara. “Saudara-saudara, sudahlah, sekarang kurang bermanfaat melanjutkan permusyawaratan. Sebaiknya sidang pleno kita akhiri saja,” ujarnya, seperti yang tertulis dalam Risalah Konstituante. Ia pun mengusulkan untuk berkompromi, yakni berunding dengan pemerintah untuk meninjau usaha Konstituante menyusun rancangan UUD baru, termasuk usul pemerintah kembali ke UUD 1945. Semua anggota setuju, dan palu pun terayun. “Dok, dok, dok!” Wilopo menutup sidang. Inilah saat terakhir Konstituante yang telah berupaya keras selama dua tahun enam bulan dua hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar negaranya.

Ide Soekarno dan Dorongan Tentara

Keesok harinya, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal A.H. Nasution langsung mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang berisi tentang larangan kegiatan berpolitik. Negara pun dinyatakan dalam Keadaan Darurat Perang (SOB = Staat van Oorlog en Beleg). Perpu ini langsung mengebiri aktivitas partai-partai politik. Selain itu, Perpu ini juga jelas-jelas menghambat kegiatan lanjutan Konstituante, lembaga yang terdiri dari banyak parpol yang telah dilarang kegiatannya. Saat itu sekitar 18 partai bereaksi. Mereka mengeluarkan resolusi untuk tidak akan menghadiri lagi sidang Konstituante setelah masa reses. Gerakan ini dimotori oleh PNI dan PKI.

Kesan yang dihembus-hembuskan sejak masa pemerintahan Soekarno, Soeharto hingga jaman Reformasi ini, bahwa sidang Konstituante tidak selesai-selesai gara-gara perdebatan sengit tentang masalah Dasar Negara, sesungguhnya tidak terlalu tepat. Sebab, perdebatan sengit itu sesungguhnya hanya terjadi dalam satu masa persidangan saja, yakni masa persidangan ke dua tahun 1957. Sementara itu, semua rapat pleno Konstituante terbuka untuk umum. Bahkan beberapa anggota mengusulkan agar disediakan pengeras suara di luar karena banyak pengunjung yang tidak kebagian tempat di dalam, tapi loudspeaker tak kunjung dipasang. Meskipun demikian, masyarakat yang bisa mengikuti langsung perdebatan tak pernah terpancing untuk menjadi reaktif dan melancarkan demonstrasi dan pengerahan massa.

Pengerahan massa yang terjadi justru dibikin pemerintah, yakni pada 22 April 1959, ketika Presiden Soekarno berpidato di hadapan Konstituante untuk mengajak kembali ke UUD 1945. Segerombolan massa yang dikerahkan militer tampak bersorak riuh di depan gedung sambil membentangkan slogan, “Jagalah jangan sampai negara dan rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan pada permulaan revolusi nasional kita.” Sementara itu, khusus hari itu pula dipasang pengeras suara di luar. Suara massa bergemuruh menyambut retorika Sang Presiden. Apa yang dikhawatirkan tentang kediktatoran dalam demokrasi terpimpin terjadi.

Kematian Konstituante diumumkan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada 5 Juni 1959, pada saat Konstituante mengalami reses. Dengan Dekrit Presiden, Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin. Padahal, Soekarno telah mengisyaratkan cita-citanya untuk berkuasa di atas partai-partai politik dan bahkan konstitusi, sejak tiga tahun sebelum gerhana politik itu terjadi. Dalam perayaan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1956, ia berpidato:

“Ini malam saya mimpi lagi, Saudara-saudara! Dan tahukah Saudara-saudara impianku ini malam? Tahukah Saudara-saudara pemuda dan pemudi, impianku pada saat aku berpidato di hadapan Saudara-saudara ini? Impianku — lha mbok, ya — kata orang Jawa, lha mbok ya, pada satu saat, pentolan-pentolan, artinya pemimpin-pemimpin dari partai-partai ini, berjumpa satu sama lain, mengadakan musyawarat satu sama lain, dan lantas mengambil keputusan satu sama lain: Marilah sekarang ini bersama-sama menguburkan semua partai,” kata Sukarno, dalam suara baritonnya,” [ix]

Pidato itu tak lebih dari aba-aba si Bung ke arah apa yang kelak disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Saat itu juru bicara partai-partai tentu menolak gagasan Soekarno karena mereka dijadikan korban, tetapi mereka juga bingung dan ragu-ragu bagaimana merumuskan ketidaksetujuannya.[x] Tapi, sebagaimana bisa diduga, si Bung jalan terus. “Saya tidak lagi cuma mimpi,” katanya, 30 Oktober 1956, di hadapan kongres PGRI, “Pembubaran partai-partai dengan tegas saya anjurkan”. Tak sampai setahun kemudian, di hadapan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat, 21 Februari 1957, Soekarno menjelaskan konsepsinya:

“Untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang kita hadapi sampai pada waktu ini, perlu sekali sistem pemerintahan yang berlaku sekarang dihapuskan dan diganti dengan suatu sistem yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebab demokrasi yang sampai kini kita anut, adalah demokrasi impor dari Barat, yang tidak cocok dengan jiwa bangsa kita,” katanya. [xi]

Rupanya, karena seolah tidak lagi menjadi tokoh sentral pemerintahan –karena hanya menjadi Kepala Negara– Soekarno kemudian mulai merancang langkah-langkahnya kembali menuju pusat kekuasaan dan pemerintahan. Pada 1957 Soekarno membentuk Kabinet Juanda setelah jatuhnya kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur tunggal. Kemudian, pada 6 Mei 1957 Soekarno membentuk Dewan Nasional yang diketuainya. Dewan Nasional ini seolah menggantikan peran partai-partai politik. Semua itu terjadi ketika suasana politik semakin panas, kabinet jatuh bangun, dan krisis ekonomi mulai melanda. Kabinet Juanda tak mampu mengatasi semua itu dan jatuh.

Situasi semakin bergulir kencang ketika pada Januari 1958, sejumlah tokoh berkumpul di Sumatera Barat. Mereka — mulai dari Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, Ketua Masjumi Muhammad Natsir, sampai Bekas Perdana Menteri Burhanudin Harahap– menentang tindakan-tindakan Sukarno dalam politik pemerintahan dan mengritik pembangunan yang tidak merata. Setahun sebelumnya, di propinsi ini Letkol Ahmad Husein telah memaklumkan pula perlawanan daerah dengan pembentukan Dewan Banteng yang disusul dengan Dewan Garuda dan Dewan Gajah di Palembang dan Medan.

Dua tahun kemudian, pada 20 Februari 1959, Soekarno mulai mencanangkan ide untuk kembali ke UUD 1945. Gongnya adalah pidato 17 Agustus si Bung tahun itu, “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato ini kelak lebih populer disebut sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia atau Manipol USDEK. Pernyataan ini berintikan lima hal, yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

Seiring dengan manuver Soekarno, tentara rupanya mempunyai skenario lain. Di luar Dewan Konstituante, Dewan Nasional yang didukung Presiden Soekarno berkampanye untuk kembali ke UUD ’45. Sementara itu, sidang Konstituante diisukan mandeg. Padahal kemandegan itu juga terjadi karena sabotase dan pemblokiran massa yang didalangi tentara. Saat itu, massa menghalang-halangi jalan para anggota Dewan Konstituante yang hendak bersidang dengan berunjuk rasa, demonstrasi dan mengepung Gedung Konstituante. Dalam berbagai aksi ini, peran Mayor Jenderal Abdul Haris Nasoetion yang baru saja diangkat lagi oleh Soekarno sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pasca pemberontakan PRRI/Permesta.

Menurut Adnan Buyung Nasution, saat itu KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasoetion terus mendesak Presiden Soekarno agar segera mengakhiri debat berkepanjangan di Konstituante dalam menentukan UUD. Abdul Haris Nasoetion-lah yang mengendalikan unjuk rasa, demonstrasi dan pengepungan itu, serta dengan gencar menggembar-gemborkan semangat “kembali ke UUD ’45″. Abdul Haris Nasoetion pulalah yang “mengompori” Presiden Soekarno untuk segera memutuskan dekrit. [xii]

Maka berdasarkan telex Jenderal Nasoetion, sepulang dari Tokyo, Presiden Soekarno langsung mengumumkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante, menetapkan untuk kembali ke UUD ’45, dan mencabut berlakunya UUD Sementara 1950. Padahal saat pembukaan sidang pertama Dewan Konstituante, Soekarno pernah berharap agar Konstituante membentuk Undang-Undang Dasar baru, karena UUD 1945 adalah UUD yang terlalu singkat dan dibuat pada masa darurat… Namun, sejarah membuktikan bahwa Presiden Soekarno telah menarik sendiri ucapannya dengan menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Oleh : Hanibal Wijayanta – Jurnalis Senior
[i]     Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959. Cetakan ke dua. Pustaka Grafiti Utama. Jakarta. 2001. Halaman 260

[ii]     Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.

[iii]    Naskah Pidato Presiden Soekarno. 18 Agustus 1945.

[iv]    Usep Ranawidjaja, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995

[v]     Sri Sumantri, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995

[vi]    Nasution. Adnan Buyung. Ibid. halaman 43.

[vii]   Nasution. Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.

[viii]   Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.

[ix]    M.Yunan Nasution. Kenang-Kenangan Dibelakang Terali Besi Dizaman Orla. Bulan Bintang

[x]     John D. Legge, Sukarno Biografi Politik. CV. Mitra Sari, Jakarta 2001.

[xi]    John D.Ledge, ibid.

[xii]   Adnan Buyung Nasution. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.


Read more ...

Diskursus Tentang Dasar Negara 1





Utamart | 18.52 | 0 Comments

Diskursus Tentang Dasar Negara 1

Diskusi tentang dasar negara kini seolah telah menjadi diskusi yang sangat berbahaya, penuh emosi, perlu kehati-hatian, dan senantiasa mengarah ke satu kesimpulan yang tak terbantahkan. Padahal, semula para founding fathers bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi dan memaksakan kehendak. Bagaimana dengan kita?

Diskursus tentang dasar negara yang hendak diterapkan di Indonesia sudah dimulai sejakDokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menggelar persidangan untuk merancang sendi-sendi dasar negara. Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr Muhammad Yamin mengusulkan konsep dasar negara dengan mengacu pada sejarah nasional, dan pendapat para pemikir barat. Pada sidang-sidang selanjutnya, beberapa ulama yang menjadi anggota BPUPKI sempat melontarkan gagasan mereka tentang keharusan negara yang akan dibentuk di nusantara ini memakai aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sayang, pendapat mereka banyak yang tidak terdokumentasikan, seperti pidato KH Ahmad Sanoesi dari Sukabumi. [i] Namun, entah mengapa, hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada persidangan ke dua tanggal 31 Mei 1945, yang ditemukan catatannya. Simaklah beberapa petikan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo berikut ini:

“Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.” [ii]

Setelah mengutip Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, surah An Nisa ayat 5, surah Ali Imron ayat 158, surah Syura ayat 38 dan surah Al Baqarah ayat 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo melanjutkan pidatonya:

“Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.”[iii]

Pada bagian akhir Ki Bagoes mengatakan :

“Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam. Sebab, itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat: sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian. Tuan-tuan, sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci. Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidakmau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.” [iv]

Selama puluhan tahun, transkrip pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo ini tidak pernah terungkap dalam pembicaraan politik dan urusan kenegaraan. Begitu pula pidato tokoh-tokoh Islam lainnya. Tentu sangatlah aneh jika sekian banyak tokoh muslim anggota BPUPKI dan PPKI yang dikenal masyarakat sebagai orator dan singa podium sama sekali tidak urun rembug dalam masalah krusial seperti ini. Dalam Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara tahun 1998, terdapat catatan kaki yang menarik:

“Risalah ini tidak terdapat baik dalam buku Prof. Mr. Muhammad Yamin yang terbit pada tahun 1959, maupun dalam berkas arsip yang diterima dari Negeri Belanda, dan yang ditemukan dalam perpustakaan Puri Mangkunegaran Solo. Risalah ini diterima Sekretariat Negara dari arsip keluarga Ki Bagoes Hadikoesoemo yang diserahkan oleh putra beliau, Kolonel (L) Basmal Hadikoesoemo.” [v]

Hingga kini belum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh tentang hilangnya beberapa arsip penting di awal  kehidupan bernegara di Indonesia ini, seperti raibnya notulen rapat BPUPKI dan PPKI. Padahal, banyak di antaranya berisi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Namun beberapa pakar sejarah seperti Ahmad Mansyur Suryanegara menduga, ada faktor kesengajaan dari beberapa pihak untuk menggelapkan peran dan jasa para tokoh Islam. Parahnya, upaya penggelapan sejarah itu justru dilakukan oleh beberapa orang tokoh pendiri bangsa. Diduga, tujuannya adalah agar pemikiran, ide serta peranan para founding fathers Indonesia dari kalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam tidak muncul, sehingga seolah kaum muslimin tidak berperan sama-sekali dalam penyusunan sendi-sendi Negara Indonesia ini.

Setelah Ki Bagoes Hadikoesoemo berpidato, sebenarnya Mohammad Hatta langsung menanggapi dan menolak ide Negara Islam yang dilontarkan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu. Memang, meski bernama Islam, pandangan politik Hatta sesungguhnya sekuler. Sayang, pidato Hatta ini pun hingga kini belum ditemukan notulensi maupun salinan aslinya, sehingga belum jelas argumen-argumen Hatta. Padahal pidato Hatta itu pula yang kemudian menjadi dasar pijakan penolakan para founding fathersIndonesia yang konon berasal dari kalangan nasionalis sekuler dan non muslim Indonesia Timur terhadap ide Negara Islam. Para sejarawan menduga, orang yang bertanggung jawab menghilangkan beberapa pidato penting itu adalah Prof Mr. Mohammad Yamin.

Tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa tokoh nasional saat itu, Mohammad Yamin justru menambahkan beberapa teks pidato miliknya sendiri pada buku yang disusunnya, “Naskah Persiapan UUD 1945”, padahal menurut Mohammad Hatta, Yamin tidak pernah berpidato seperti yang ditulisnya itu di sidang BPUPKI. [vi] Meskipun demikian, fakta tentang adanya pidato bantahan Hatta tentang ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KH Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan ide Hatta. Berikut petikannya:

“Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Apa sebabnya di sini saya mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan “negara Islam” lain dengan artinya dari pada perkataan “Negara berdasarkan atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama adalah satu, bersatu padu.”[vii]

Kemudian, Soepomo melanjutkan:

“Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam, negara tidak bisa dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap senagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi soal, ialah apakah hukum syariat dapat dan boleh diubah, diganti, disesuaikan menurut kepentingan internasional menurut aliran zaman? Ada suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak diperbolehkan. Tetapi ada lagi golongan yang mengatakan bisa disesuaikan dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu Kepala dari sekolah tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Muhammad Abduh yang termasyhur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga—mengatakan, “Memang hukum syariah bisa diubah dengan cara “ijmak”, yaitu permusyawaratan, asal tidak bertentangan dengan Qur’an dan dengan Hadis. Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul Razik, yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang mengenai kepentingan negara. Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu…”[viii]

Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya terjadi perdebatan seru akibat perbedaan tajam antara kubu Islam –kubu terbesar dengan 35 orang anggota– yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara. Golongan Sekuler dan non muslim menginginkan Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:

“Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya meminta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang Bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun Bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia. [ix]

Selanjutnya, untuk menarik perhatian para politisi muslim anggota BPUPKI, Soekarno mencoba meyakinkan mereka bahwa dirinya pun sejatinya adalah seorang pembela Islam. Soekarno mengatakan:

“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.” [x]

Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun menyinggung sentimen kaum muslimin :

“Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-Kepala Negara, baik khalif maupun Amirul Mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kita mengadakan Kepala Negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya menjadi Kepala Negara Indonesia dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarkhi.” [xi]

Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan lugas ia mengatakan :

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.” [xii]

Dalam perdebatan selanjutnya, saat itu akhirnya para politisi Islam harus susah payah untuk berkompromi dengan rumusan undang-undang dasar yang tidak tegas menyebutkan tentang negara Islam, presiden Islam dan sebagainya. Akhirnya dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang yang akan merumuskan pokok pikiran pendirian negara Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin.

Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil yang kemudian disebut dengan nama Panitia Sembilan itu berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Pengorbanan itu rupanya masih agak terobati dengan adanya rumusan konsensus yang disebut Piagam Jakarta itu. Mr. Mohammad Yamin menyebutnya sebagai “Jakarta Charter”, Prof. Dr. Mr. Soepomo meyebut konsensus itu sebagai “Perjanjian Luhur”, sedangkan Dr. Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai “Gentlemen Agreement”. Bagi kalangan Islam, inti dari Piagam Jakarta adalah kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta inilah yang seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Tapi kekecewaan merebak ketika sehari setelah proklamasi, faksi Islam sekali lagi harus menerima kompromi demi pembentukan negara Indonesia yang dicita-citakan. Kompromi itu bermula dari pertemuan awal beberapa tokoh pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk merumuskan dasar Ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Oendang-oendang Dasar 1945. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu adalah KH Wachid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah, Mohammad Hatta dari Sumatera Barat dan Teoekoe Mohammad Hassan dari Aceh. Dalam rapat itu dibicarakan tentang rencana perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, yakni sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Semua berawal dari ungkapan Mohammad Hatta tentang adanya informasi dari seorang opsir Jepang. Si Opsir Jepang –yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya itu– konon mengatakan bahwa golongan Kristen dari Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya tujuh kalimat inti dalam Piagam Jakarta. Jika tujuh kalimat itu diterapkan, konon, mereka khawatir akan terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya. Padahal, dalam bukunya, Ahmad Mansyur Suryanegara sempat mengutip keterangan Deliar Noer, sebagai berikut:

“Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir, sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 % terhadap Preambule atau Piagam Djakarta. Persetujuan ini terjadi karena Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sedangkan Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena Sjariat Islam.” [xiii]

Karena itu, rencana perubahan yang ditawarkan Mohammad Hatta ini ditolak oleh KH Wahid Hasjim maupun oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun, dengan berbagai pendekatan akhirnya kedua tokoh ulama itu bersedia berkompromi dengan bersedia menghilangkan ketujuh kata dalam Piagam Djakarta itu. Hilangnya kalimat itu memang dirasakan sebagai pengorbanan yang tiada taranya dari umat Islam. Bahkan banyak pula yang menganggap bahwa kesepakatan itu sebagai sebuah pengkhianatan dan kekalahan para tokoh dan ummat Islam yang sangat menyakitkan. Tapi, menurut mendiang Menteri Agama Alamsjah Ratuperwira Negara, penghilangan ketujuh kata-kata kunci itu merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia.

Oleh : Hanibal Wijayanta – Jurnalis Senior
===

[i]    KH Ahmad Sanoesi adalah seorang tokoh ulama Jawa Barat. Kiai Sanoesi adalah Ketua Persatoean Oemat Islam Indonesia,  pendiri pesantren Gunung Puyuh Sukabumi, pendiri Al-Ittihadul Islamiyah, dan kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonedia Pusat KNIP. Namun, ulama besar ini nyaris tak pernah disebut-sebut perannya sebagai founding fathers Indonesia. Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. Bandung 2010.

[ii]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Sekretariat Negara. Jakarta. 1998. Halaman 41.

[iii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 42.

[iv]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 48.

[v]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 33

[vi]   Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. Bandung. 2010. Halaman 128.

[vii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 57-58.

[viii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 59.

[ix]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 92-93.

[x]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 98.

[xi]   Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 101.

[xii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 101.

[xiii] Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. 2010. Halaman 133

Read more ...