Asal Usul Lambang Kesultanan Bima
Lambang
atau bendera menjadi satu dari sekian banyak identitaspenting bagi
sebuah bangsa. Bahkan di era modern seperti sekarang ini, bendera
kerap digunakan sebagai simbol pemersatu untuk komunitas-komunitas hobi;
sebutlah misalnya bendera klub sepakbola, bendera perkumpulan fans suatu grup
musik, bahkan lambang resmi organisasi-organisasi sosial maupun politik.
Mungkin bukanlah suatu hal yang menarik ketika mengupas eksistensi historis
bendera Bima.
Tetapi sebagai sebuah entitas
kebudayaan nusantara, rasanya rugi juga kalau melewatkan keberadaan simbol
tersebut dalam perspektif kebimaan kita hari ini. Dalam buku Sejarah Bima
Dana Mbojo karangan Alm. H. Abdullah Tajib, BA, bendera atau lambang Kerajaan
Bima pertama kali dikenal setelah disahkan oleh ketetapan
majelis Paruga Suba dalam masa pemerintahan Sultan Abdul
Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam pada hari Selasa tanggal 22
Dzulkaidah 1203 H bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1789. Walaupun
pada tahun 1886 Kesultanan Bima telah menanda-tanganiLange
Verklaring, bendera tersebut tetap dikibarkan sebagai pertanda bahwa
kedaulatan Kerajaan Bima tetap diakui.
Sebagai sebuah kerajaan
bercorak dan berideologi Islam, maka keberadaan kesultanan Bima pada abad ke 17
sampai pada abad 19 tidaklah harus dilihat sebagai sebuah negeri yang berdiri
sendiri. Tiga abad sebelum Abdul Kahir menjadi Sultan, kerajaan-kerajaan Islam
sudah berdiri dan maju pesat di wilayah semenanjung Malaka, dua abad sebelumnya
juga Islam sudah berkembang di Demak dan Jawa Timur, bahkan satu abad
sebelumnya sebuah kerajaan Islam sudah berdiri di Maluku. Tentu saja,
eksistensi Kesultanan Bima tidak bisa dipisahkan dari percaturan politik Islam
di Nusantara, yang nantinya dapat dirangkai dengan hubungan-hubungan diplomatik
dengan kekuasaan Islam global. Saya menduga ada dua latar belakang penggunaan
Garuda berkepala Dua ini sebagai simbol resmi Kerajaan Bima.
Pengaruh Khilafah Utsmaniyyah Turki
Seperti yang sudah kita ketahui dari banyak sumber
sejarah, pada abad ke 13 sampai abad 18 merupakan masa kekuasaan Khilafah Turki
Utsmani (Ottoman) setelah Kekuasaan Islam jatuh di Baghdad dan Andalus. Sejak
berhasil menaklukkan Constantinopel, Ottoman merubah daerah tersebut menjadi
Islambul (Istambul), dan semenjak itu pula Turki melakukan ekspansi
besar-besaran untuk menaklukan beberapa wilayah di Eropa dan Asia
Tengah. Dinasti ini dikenali sebagai Osmani atau Utsmaniyyah oleh
sebahagian pihak. Pada awalnya pemimpin-pemimpin
imperium ini menggelar diri mereka sebagai Bey. Oleh itu mereka mereka
mengakui kesetiaan kepada Kerajaan Seljuk. Murad Iialah pemerintah
pertama yang menggunakan gelaran "sultan", dan sejak mulai
tahun 1517, sultan-sultan Utsmaniyyah juga merupakan Khalifah umat Islam. Pada
abad ke 16, Khilafah Utsmaniyahbersaing
dengan bangsa-bangsa Eropa di Lautan Hindi (Nusantara),
bahkan dalam catatan Aceh terdapat sepucuk surat yang dikirim oleh
pemimpin Aceh Sultan Alauddin Riayat Shah Al Qahar kepada Sultan Turki. Meski
tidak langsung terbalas, namun kemudian hari Sultan Turki
mengirim armada lautnya bersama-sama dengan kelengkapan perang
dan laskar ke Aceh dan Kenya untuk membantu
pemerintah-pemerintah Muslim di sana, di samping mempertahankan
perdagangan rempah dan budak.Pengiriman duta ke Istambul pada tahun 1564
dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Shah, dalam suratnya kepada Pemimpin
Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai satu-satunya
Khalifah Islam yang diakui di dunia saat itu. (Lihat : Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh)
Menyoal lambang, emblem dan bendera Kerajaan Bima
tentu saja tidak bisa dengan melihat tradisi internal dan sejarah singkat
Kesultanan Bima. Perlu ada penelusuran secara mendalam tentang pola-pola
hubungan Bima dengan kerajaan lain, bahkan ada keberanian kita membongkar
kecenderungan semiotik masyarakat Bima dalam menggunakan simbol-simbol
kekuasaan. Karena dalam hal penggunaan simbol-simbol, hampir seluruh kebudayaan
di dunia ini saling mempengaruhi. Termasuk Bima yang pada abad ke 16 sudah
sangat diperhitungkan dalam percaturan ekonomi global. Catatan Tome Pires
menggambarkan Bima sebagai daerah penghasil dan pengekspor, dan beberapa
komoditi serta hasil buminya sudah dipasarkan sampai ke Malaka dan Siam
(Thailand). Dari sini saja kita sudah bisa menduga-duga bahwa
komunikasi-komunikasi bilateral Bima sudah terbangun dengan baik, meski awalnya
hanya berkisar pada ranah ekonomi-perdagangan.
Dalam catatan Bo’ Sangaji Kai,
lambang dan bendera kerajaan Bima justru baru diketahui pada sekitar tahun 1773
setelah disahkan penggunaannya oleh Sultan Abdul Hamid. Dalam masa pemerintahan
sebelumnya, simbol dan lambang tersebut tidak disebutkan. Pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Hamid sendiri, pola hubungan diplomatik Bima dengan
Belanda sudah mendapatkan bentuknya. Bahkan dari hasil pembacaan transkrip
sepuluh surat Sultan kepada Belanda oleh Dr. Suryadi dari Universitas Leiden,
kerajaan Bima sepertinya sudah sangat maju dalam hal komunikasi politik,
terbukti dengan corak tulisan arab melayu dan penggunaan istilah-istilah arab,
bahkan Sultan Abdul Hamid memiliki stempel resmi kerajaan dalam dua bahasa,
yaitu Belanda dan Arab Melayu.
Saya kemudian menduga, bahwa lambang kerajaan
tersebut mulai digunakan oleh pemerintahan Sultan Abdul Hamid dengan tujuan
untuk menegaskan identitas kerajaan Bima dalam menghadapi tekanan-tekanan
politik dan ekonomi yang gencar dilakukan Belanda. Ini bukan berarti jika jauh
hari sebelumnya Kerajaan Bima tidak mengenal simbol dan lambang-lambang
kebesaran sendiri. Penggunaan lambang Garuda Berkepala Dua cenderung
ditafsirkan pada dua kebudayaan, yakni pertama kebudayaan Hindu,yang diwakili
eksistensinya melalui kehadiran burung Garuda. Dan kedua kebudayaan Zion, yang
diwakili keberadaaannya melalui keserupaan bentuk tersebut dengan kebanyakan
simbol dalam budaya Zion dan Romawi.
Lambang Garuda Kepala Dua sebenarnya bukan muncul
begitu saja dalam masa pemerintahan Abdul Hamid. Harus kita akui pula, bahwa
pada saat dikukuhkan sebagai Sultan, Abdul Hamid sebenarnya masih berusia belia
yakni sebelas tahun. Praktis kekuasaan dikendalikan oleh majelis hadat di bawah
komando Raja Bicara. Beberapa puluh tahun sebelumnya, kemelut juga melanda
kerajaan Bima ketika nenek dari Abdul Hamid yakni Komalat Syah dipermasalahkan
kepemimpinannya oleh Belanda, sampai harus dibuang ke Ceylon. Situasi carut
marut tersebut sudah dilatari oleh pengunduran diri Sultan Alauddin yang
memilih untuk mengasingkan diri ke Daha (Dompu). Sepertinya ada masalah besar
yang terjadi di internal kerajaan Bima kala itu, dan kegamangan itu memakan
waktu yang cukup lama sehingga muncul ketidakpastian pemerintahan. Pada
masa-masa inilah saya menduga interaksi dari Bima dengan pihak-pihak Malaka
mulai terbuka, karena beberapa utusan dari kerajaan Bima dikirim ke sana untuk
meminta perlindungan atas campur tangan Belanda yang sudah mengacaukan iklim
pemerintahan kerajaan Bima.
Dalam masa peralihan dari Sultan Alauddin ke Komalat
Syah inilah lambang Garuda Kepala Dua ini mulai diperkenalkan dalam kerajaan
Bima. Lambang tersebut merupakan lambang kebesaran beberapa bangsa Balkan yang
ditaklukkan oleh Khilafah Utsmaniyyah, setelah dikuasai oleh Turki, kawasan
Balkan kemudian menjadi kawasan Muslim terbesar di Asia Tengah. Coba perhatikan
bendera Kosovo dan Albania, sepintas gambar tersebut persis dengan simbol
garuda kepala dua yang digunakan oleh kerajaan Bima, dengan warna latar merah
dan garuda berwarna hitam. Lambang ini sepertinya dibawa dan diperkenalkan oleh
para delegasi diplomatik Bima yang baru kembali dari Malaka (Kesultanan Aceh).
Pertanyaannya ialah; Kenapa Kerajaan Bima tidak menggunakan lambang bulan
sabit seperti yang digunakan oleh Kerajaan Aceh? Karena secara faktual
Sultan Aceh memang mengakui bahwa Turki adalah satu-satunya Khilafah Islam di
dunia, sehingga Aceh menegaskan dirinya berada di bawah kekuasaan Turki
Utsmaniyyah secara langsung, bahkan menggunakan simbol bulan sabit untuk
menyatakan bahwa Aceh adalah wilayah protektorat Turki. (Lihat
: Coat of arms of Serbia and Montenegro dan The Emblem of Albania)
Pada masa Alauddin memerintah
kerajaan Bima, peradaban ilmu pengetahuan di Bima sudah mencapai taraf kemajuan
yang luar biasa, ada banyak kelompok cendekiawan yang menuntut ilmu sampai ke
Mekkah. Interaksi sebahagian masyarakat Bima sudah mendunia, terbukti adanya
sebuah karya besar yang terkenal di Nusantara yaitu Mushaf Al Qur’an tulisan
tangan yang dinamai La Lino. Sehingga tidak mustahil, berita-berita menyangkut
perubahan mainstream politik global sudah banyak diketahui oleh sebahagian
orang Bima yang merantau, termasuklah pula kehadiran simbol ini ke dalam
kerajaan Bima. Kalaupun kemudian kerajaan Bima tidak mengikuti simbol Aceh dan
Ottoman, itu semata karena alasan sosio-historis dan kebudayaan awal yang
dianut oleh kerajaan Bima. Kerajaan Bima merasa sebagai sebuah wilayah kesultanan
yang berdaulat dan ingin menunjukkan identitasnya sendiri, meskipun pada saat
yang sama Kesultanan Bima mulai membangun hubungan diplomatik dengan Khilafah
Utsmani melalui patronase Kesultanan Aceh.
Pengaruh Masonik Hindia Belanda
Pengesahan simbol ini pada masa
Sultan Abdul Hamid juga tidak bisa dilepas dari intervensi Belanda. Karena
bagaimana pun juga, Belanda berkepentingan untuk mempertahankan kerajaan Bima
sebagai pusat penghasil rempah-rempahnya, Belanda melihat prospek hubungan baik
dengan Bima adalah sebuah keniscayaan, karena ini adalah kepentingan politik
jangka panjang bagi mereka untuk memiliki daerah protektorat yang taat. Belanda
tidak menginginkan kerajaan Bima menjadi sebuah poros tengah kekuatan Islam di
Nusantara, sehingga pada berbagai hal kebijakan diplomatik Bima dengan Malaka
selalu dibatasi, Belanda benar-benar berhasil menguasai alur politik kekuasaan
di Bima. Belanda tidak punya pilihan lain, karena Malaka sangat susah untuk
ditembus, Maluku (Tidore dan ternate) pun demikian. Hanya dua wilayah yang
sangat memungkinkan bagi Belanda untuk membangun pusat perdagangannya, yakni
Gowa dan Pulau Sumbawa, sehingga dalam hal pembangunan infrastruktur pun
Belanda-lah yang kemudian memprakarsainya. Buktinya, pada abad ke 18 Belanda
menjadikan Istana Bima sebagai sebuah loji atau rumah pertemuan untuk menggelar
ritual masonik (fakta lukisan A. J. Bik tahun 1821 yang menyebut Istana kita
sebagai sebuah Loji).
Gagasan Tarekat, seperti telah kami kemukakan,
merupakan bagian hakiki dari Tarekat Mason Bebas, namun apa artinya itu bagi
penyebaran Tarekat Mason Bebas di antara orang Indonesia? Pembedaan oleh karena
asal-usul tidak boleh memainkan peranan, bahkan ditolak, dan pembicara pada
pesta satu abad loge Batavia “De Ster in het Oosten (Bintang Timur)” menyatakan
pada tahun 1869: “Asimilasi berbagai ras di Timur, [yaitu Batavia, St.],
supaya semua menjadi saudara, adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh para
Mason Bebas.”
Menurut A.S. Carpentier Alting sudah sejak sebelum
1756, “sudah ada banyak Mason Bebas di Hindia Timur (Indonesia),
sedangkan loge tertua di bawahkekuasaan seorang Suhu Agung Belanda di Asia
adalah loge Salomon”. Loge itu didirikan di Tandalga, Benggala. Atas dasar
keputusan-keputusan yang diambil Loge Agung di Belanda pada tahun 1759,
ternyata bahwa Surat Konstitusi memang benar-benar telah diberikan. Berkat
Hageman, menjadi jelas bahwa berdirinya loge “Salomon” berhubungan dengan
ekspedisi militer yang padatahun 1759 dikirim dari Batavia untuk melindungi
milik Kompeni di pesisir Benggala dari pihak Inggris. Gugus perang Belanda
waktu itu terdiri dari tujuh ratus orang dan di antara mereka terdapat nakhoda
Jacobus Larwood van Scheevikhaven. Seperti telah dikemukakan, menurut keputusan
Loge Agung pada akhir tahun sebagai anggota loge Amsterdam“Concordia Vincit
Animos” ia telah diangkat menjadi “Utusan” atau “Suhu Agung Provinsi atas
Hindia Belanda”. Loji atau Rumah Pertemuan pertama kalinya di dirikan di Batavia
saat jabatan gubernur jenderal dipegang oleh Petrus Albertus van Der
Parra (1761-1775). Di masa kepemimpinannya, ia digambarkan sebagai seorang
tokoh yang tidak begitu terpuji karena dinilai bertindak sebagai seorang
penguasa mutlak. (download baca : TAREKAT MASON BEBAS
DI HINDIA BELANDA DAN MASYARAKAT INDONESIA 1764-1962)
Masa-masa kejayaan tarekat
Masonik (Vrijmetselarij) Hindia Timur ini sejalan dengan masa
pemerintahan Abdul Hamid, dan tidak mustahil, pengesahan bendera kerajaan Bima
pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zhilullaah Fil ‘Alam
merupakan salah satu bentuk tekanan sekaligus infiltrasi tokoh-tokoh pemimpin
Belanda di Makassar yang berlatar belakang sebagai pengikut Tarekat Masonik,
secara bersamaan pula disepakati oleh sebahagian besar pemangku adat dalam
Istana. Tokoh-tokoh masonik melihat prospek pengembangan Bima sebagai daerah
berbasis spiritual yang telah teruji melintasi dua zaman peradaban secara
gemilang; ketika menganut Sinkretis Hindu-Buddha, dan zaman Islam. Inilah
kemudian kepentingan misionaris Belanda untuk menyusupkan
perkumpulan-perkumpulan masonik dalam kerajaan Bima. Pada masa
jayanya “Tarekat Kaum Mason Bebas di bawah Timur Agung Nederland” di
Hindia Belanda mempunyai sekitar 1.500 anggota, terbagi dalam 25 bentara di
seluruh Nusantara. Hanya saja kemudian, perkumpulan masonik Belanda gagal
menuntaskan proyek tersebut karena kuatnya kebersamaan dalam kesultanan Bima,
sehingga meskipun simbol tersebut tetap digunakan namun sudah ditafsirkan arti dan maknanya dalam
pendekatan Islam bercorak tasawwuf. Lambang Garuda Kepala Dua pun dalam banyak
sumber dikenal sebagaiThe Coat Of Arms Of Bolsward (Bolsward adalah nama
sebuah perkampungan di Netherland, yang dikenal memiliki banyak sekali
sekolah-sekolah dan perkumpulan pelajar)
Seusai perang
Ngali tahun 1908, Kerajaan Bima dinyatakan sebagian bagian dari
Hindia Belanda,bendera kerajaan dilarang untuk dikibarkan, itu mungkin demi
menyeragamkan simbol resmi Kerajaan Belanda merah putih biru. Sejak itu hanya
diperkenankan digunakan sebagai lambang biasa (logo),dandipasang pada mobil
sultan dikala menjemput kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Jong
yang melawat ke Bima tahun 1934. Pada tanggal 5 April 1942
bendera Kerajaan bima dikibarkan kembali setelah pemerintahan dan rakyat Bima
dibawah pimpinan Sultan Muhammad Salahuddin merebut kekuasaan dari tangan
Hindia Belanda di Bima, namun kemudian dilarang lagi oleh pemerintah Bala
tentara Jepang pada masa pendudukannya di Bima pada bulan
Juli tahun 1942. Dan kini lambang itu sudah bertutur kembali
setelah 60 tahun hanya menjadi saksi bisu sebuah kilasan sejarah, namun tidak
dalam bentuknya sebagai lambang kedaulatan melainkan dinisbatkan sebagai logo
resmi pemerintahan Kota Bima yang dibentuk pada tahun 2002.
(Sumber: http://fitua.blogspot.com/2011/11/asal-usul-lambang-kesultanan-bima.html )
(Sumber: http://fitua.blogspot.com/2011/11/asal-usul-lambang-kesultanan-bima.html )